Minggu, 11 Mei 2008

TUGAS PKN UU PEMILU

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

UU PEMILU 2009

Dosen : Mawardi












Disusun oleh:
1. Arifin Eko 292007017
2. Astri Septianingrum 292007010
3. Anjarinie Yustiningrum 292007023
4. Deris Erna Sahani 2920070
5. Fita Nursela 292007007



SI PGSD KELAS A

SALATIGA

2008



RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perjalanan kehidupan politik Indonesia mengalami dinamika yang besar ketika diputuskan untuk melaksanakan pemilihan umum secara langsung. Meskipun baru pertama kali, ternyata kita berhasil menyukseskan penyelenggaraan tiga pemilihan umum berturut-turut pada tahun 2004. Pertama, dilaksanakan pada tanggal 5 April yang secara simultan memilih anggota DPR,DPD dan DPRD dari seluruh provinsi, kabupaten dan kota. Kedua, pada 5 Juli 2004, lima pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dinominasi oleh Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pemenang pemilu pada pemilihan umum legislatif tiga bulan sebelumnya berkompetisi pada putaran pertama pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemilu putaran pertama ini tidak menghasilkan suara yang mayoritas absolut sehingga diselenggarakan pemilu putaran kedua.

Pengalaman dalam pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada pemilu pertama tahun 1955 telah melahirkan keberhasilan sebagai babak baru dalam demokrasi secara nasional. Sekalipun demikian masih ada yang mempertanyakan apakah keberhasilan Pemilu itu sudah didukung oleh sistem pemilu dan aturan hukum cukup signifikan dalam memenuhi standar yang demokratis. Demikian pula halnya dengan keberhasilan tersebut dapatkah menjadi referensi bagi pengaturan ketentuan mengenai Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bagi penyempurnaan UU No. 23 Tahun 2003. Pengalaman Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan UU No. 23 Tahun 2003 telah memiliki legitimasi yang kuat, berkualitas dan dipilih melalui pemilu yang jujur, adil dan adil sesuai dengan semangat reformasi dan keinginan seluruh rakyat.

Pemilu 2004 dapat diklaim sebagai keinginan rakyat karena pemilihan dilakukan secara langsung merupakan sarana bagi rakyat memberikan suaranya langsung kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden sesuai dengan keinginannya. Demikian pula ruang kekuasaaan otoriter untuk menentukan kandidat presiden dan wakil presiden sudah diminimalisasi. Hal ini sejalan dengan semangat demokrasi one person one vote yang berarti suara mayoritas rakyat pemilihlah yang menentukan siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden. Hal lain yang perlu dicatat bahwa pemilihan langsung memungkinkan lahirnya kontrak politik antara pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dengan rakyat pemilihnya. Secara konstitusional visi dan misi serta program pasangan calon dalam masa kampanye menjadi kewajiban pasangan calon Presiden dan Wakil presiden untuk diwujudkan dalam masa jabatannya.

Pemilu Presiden dan Wakiol Presidien merupakan pekerjaan besar dan kompleks. Tidak saja karena jumlah penduduk mecapai 215 juta jiwa dan jumlah pemilih mencapai 150 juta, tetapi juga penyebarannya yang luas dengan kondisi geografis yang berbeda-beda, sehingga penanganannya pun membutuhkan sumber daya dan sumber dana besar yang harus ditopang oleh kinerja yang profesional, akuntabel dan transparan. Pengalaman tersebut di atas mendorong perlunya penyempurnaan UU No. 23 Tahun 2003 untuk meminimalisasi kekurangan yang belum diatur dan untuk menampung aspirasi yang signifikan dari masyarakat luas dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden guna pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 yang lebih efektif dan efisien.

B. Maksud dan tujuan
1. Maksud
Pembentukan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dimaksudkan untuk melakukan penyempurnaan atas UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya penyempurnaan atas berbagai materi pengaturan yang terkait dengan pelaksanaan Pemilu, peserta pemilu, pendaftaran pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pencalonan, kampanye, prinsip umum pemungutan suara, penghitungan suara, pemantauan pemilu, dan penyelesaian sengketa pemilu.

2. Tujuan
Tujuan pembentukan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah terbentuknya undang-undang sebagai landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan pemerintahan nasional, dalam rangka mewujudkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

C. Landasan Penyempurnaan

1. Landasan Filosofis
Di dlam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diamanatkan bahwa Presiden dan Wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat dalam perwujudannya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Amanat konstitusional tersebut sekaligus memberi arah bagi penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden didasarkan atas pemikiran bahwa penyelenggaraan Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan bagian dari proses demokratisasi (kembali) kehidupan politik harus diorientasikan kepada 2 (dua) hal mendasar. Pertama, adalah bagaimana membangun proses pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang dapat terselenggara dengan aman dan tertib dan dapat menampung dan mewujudkan harapan dan keinginan seluruh rakyat untuk ikut serta dan berpartisipasi dalam proses penyelenggaraannya sehingga akan dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama. Kedua, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dapat menghasilkan pasangan Presiden dan dan Wakil Presiden yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai Kepala Pemerintahan, sehingga harapan seluruh rakyat untuk memiliki pemimpin yang akan mampu menyelenggarakan Pemerintahan Negara dengan sebaik-baiknya. Pemerintahan negara yang menjadi harapan rakyat tersebut dapat mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Kedua hal tersebut akan dapat dicapai dengan baik jika semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden selalu dapat memahami dan menghayati nilai-nilai kebangsaan dalam memberikan dasar bagi penyempurnaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.


2. Landasan Sosiologis

Orientasi pemikiran sosiologis antara lain menunjukkan adanya perkembangan dinamika masyarakat, dan kecenderungan penilaiannya terhadap pengalaman empiris pada pemilu sebelumnya. Suasana reformasi dimana masyarakat menghendaki perbaikan-perbaikan di bidang politik tak terkecuali perbaikan di bidang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal-hal yang diinginkan diantaranya seperti perlunya transparansi dalam pengelolaan dana kampanye baik dalam penerimaan, pengeluaran, serta pelaporan secara akauntabel, transparansi dalam proses pendafataran pemilih dan penghitungan suara yang harus dilakukan secara tertib mulai tingkat kelurahan atau desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, maupun pada tingkat nasional.

Dinamika masyarakat juga menghendaki adanya calon yang aspiratif, memiliki kompetensi kepemimpinan nasional dan berkualitas. Spesifikasi calon Presiden dan Wakil Presiden yang demikian merupakan harapan pemilih. Harapn demikian sesuai dengan kecenderungan masyarakat. Mengingat Presiden dan Wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung, tentu rakyat memiliki legitimasi yang langsung pula terhadap kapasitas kepemimpinan pasangan calon terpilih sehingga hak legitimasinya harus mendapat perhatian secara proporsional bahkan sejak awal ketika penyelenggaraan pemilu dimulai.

3. Landasan Yuridis
Sistem Pemilihan Umum yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang telah melahirkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden memiliki arah, substansi, serta sinergi dengan undang-undang lainnya. Perkembangan dalam pembangunan politik berdasarkan pengalaman Pemilu 2004 perlu mendapat perhatian. Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 akan memberi arah lebih lanjut bagi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyelenggaraan Pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden mempunyai kaitan yuridis dengan undang-undang lain. Undang-undang yang berkaitan langsung dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus menjadi dasar yuridis bagi penyempurnaannya. Di dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terdapat peran utama yang melibatkan partai politik peserta pemilu. Oleh karena itu undang-undang yang mengatur tentang partai politik harus menjadi dasar juga bagi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Demikian pula hal dengan undang-undang yang mengatur pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD dan bahkan undang-undang yang mengatur mengenai susunan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Demikian pula halnya dengan telah lahirnya undang-undang yang mengatur penyelenggara Pemilu akan menambah dasar yuridis penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

D. Metode
Pembentukan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan metode kerja sebagai berikut:
a. Evaluasi atas pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
b. Pengkajian terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 yang dinilai mengandung kelemahan dan/atau bermasalah;
c. Pengkajian terhadap konsep teoritis tentang pemilihan umum presdien dan wakil persdien yang ideal;
d. Penyesuaian dengan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu; dan
e. Analisis komprehensif dan penyusunan konsep pengaturan yang baru.

E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penelusuran dan pemahaman tentang penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003, naskah akademik ini disusun sebagai berikut:
Bab I memuat Pendahuluan yang berisi latar belakang perlunya dibuat rancangan Undang-undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, maksud dan tujuan pembentukan Undang-Undang, landasan penyempurnaan, metode, dan sistematika penulisan.
Bab II memuat Arah dan Tujuan Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Di dalamnya dimuat mengenai arah dan tujuan menuju sistem Pemilu yang demokratis, sistem pemerintahan yang efektif, pemikiran bagi terbangunnya sistem pemerintahan presidensial yang efektif; dan hubungan penataan sistem politik demokratis dengan sistem pemerintahan efektif.
Bab III memuat Problematika Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yang di dalamnya memuat materi mengenai penyelenggara, hak memilih, pendaftaran pemilih, persyaratan calon, kampanye, pengadaan perlengkapan, pemungutan suara, penghitungan suara, calon berhalangan tetap, pengawasan, pemantauan, penyelesaian sengketa, dan sanksi pidana.
Bab IV memuat Materi Rancangan Undang-Undang, yang di dalamnnya dimuat Ketentuan Umum, Asas dan Pelaksanaan, Lembaga Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Hak Memilih, Penyusunan Daftar Pemilih, Pencalonan, Kampanye, Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu, Pemungutan Suara, Penghitungan Suara, Penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Pelantikan, Pemungutan Suara Ulang dan Penghitungan Suara Ulang, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Lanjutan dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Susulan, Pengawasan, Pemantauan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Penyelesaian Perselisihan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Ketentuan Pidana, dan Ketentuan Peralihan.
Bab V memuat Penutup, yang di dalamnya berisi uraian penutup dari seluruh rangkaian penjelasan dalam naskah akademik mengenai perlunya penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden .

BAB II
ARAH DAN TUJUAN PENYEMPURNAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


A. Menuju Sistem Pemilu yang Demokratis

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 telah mengantarkan seluruh rakyat Indonesia berpartisipasi dalam menentukan pilihan secara langsung dalam rangka menentukan pemimpin pilihannya. Sistem pemilihan langsung tersebut di atas telah memberikan tempat yang luas bagi tumbuhnya sistem perpolitikan nasional pada satu segi, dan pada segi lain presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat. Karena itu Presiden terpilih berada diatas segala kepentingan dan dapat menjembani berbagai kepentingan tersebut.

Ada mekanisme kontrol dari rakyat dalam rangka penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ketika pasangan Presiden dan Wakil Presiden terlpilih selama masa pemerintahannya, sehingga Presiden dan Wakil presiden terpilih mempunyai beban konstitusional dalam memenuhi janji-janji, visi dan misi serta program yang disampaikan dalam masa kampanye, karena yang demikian adalah juga merupakan harapan rakyat. Hubungan senergis antara pasangan Presiden dan Wakil Presiden dan rakyat pemilih yang dijembatani oleh pemenuhan janji-janji, visi dan misi serta program yang disampaikan dalam masa kampanye, memberi gambaran telah terwujudnya nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden .

Demikian pula sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung melahirkan check and balance antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang lebih seimbang karena kedua lembaga ini sama kuatnya, tidak ada satu lembaga yang dapat membubarkan lembaga lainnya. Sehingga dalam pengambilan kebijakan, masing-masing lembaga dapat saling bersinergi untuk menghasilkan keputusan yang terbaik bagi rakyat sebagai konstituennya.


B. Menuju Sistem Pemerintahan yang Efektif

Pengertian pemerintahan yang efektif adalah suatu proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik oleh lembaga-lembaga publik yang selaras dengan aspirasi dan keinginan rakyat berdasarkan tata perundangan yang berlaku. Sedangkan pengertian sistem pemerintahan yang efektif adalah suatu pola hubungan antara berbagai lembaga-lembaga publik dalam rangka pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik dengan dasar-dasar prinsip tertentu untuk menterjemahkan aspirasi dan keinginan rakyat.
Pentingnya suatu sistem pemerintahan yang efektif, paling tidak bersumber pada 3 (tiga) alasan utama. Pertama, dengan adanya pemerintahan yang efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih responsif. Pemerintah akan berusaha menerjemahkan keinginan rakyat menjadi kebijakan publik. Kedua, pemerintahan yang efektif akan membuat aktivitas pemerintahan lebih bisa didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun masyarakat. Energi ini akan membuat pencapaian aktivitas pemerintah meluas oleh karena partisipasi masyarakat dan kekuatan politik dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan umum seperti memberikan pelayanan umum, mengatur konflik, maupun pembagian sumber-sumber ekonomi. Dan ketiga, pemerintahan yang efektif akan memungkinkan berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang.

Untuk mendukung tercapainya sistem pemerintahan yang efektif, maka perlu suatu upaya serius untuk menguatkan berbagai elemen sistem pemerintahan bagi kebijakan publik yang aspiratif dan responsif.
Argumen teoritik pilihan terhadap sistem presidensialisme adalah: pertama, presiden adalah satu-satunya pejabat publik yang dipilih untuk mewakili seluruh rakyat dan wilayah negara. Dengan demikian presiden memiliki mandat yang kuat untuk melaksanakan kehendak rakyat dan wilayah. Asumsinya, dengan mandat yang demikian maka lembaga ini memiliki dasar untuk melaksanakan suatu pemerintahan yang efektif. Kedua, dalam banyak kasus, presiden biasanya dipilih langsung oleh rakyat dalam jangka waktu yang pasti. Dipilih langsung akan membuat kedudukannya tidak tergantung pada dinamika lembaga lain. Hubungan ini memungkinkan stabilitas kelembagaan yang akan berimplikasi kemungkinan tercapainya pemerintahan yang efektif. Ketiga, presiden terpilih memungkinkan untuk melaksanakan kebijakan nasional secara terencana dan responsif, dan efektif.
Efektivitas fungsi pemerintahan menghendaki lembaga kepresidenan didukung oleh bekerjanya suatu sistem perwakilan yang efektif. Hubungan antara lembaga kepresidenan dan sistem perwakilan yang berimbang akan meletakan fondasi check and balances yang efektif. Secara umum dapat dikatakan bahwa penguatan sistem pemerintahan presidensial membutuhkan penguatan lembaga kepresidenan, penguatan lembaga perwakilan, serta perimbangan hubungan kelembagaan antara presiden dan legislatif.

C. Pemikiran bagi Sistem Pemerintahan Presidensial yang Efektif

Sistem multipartai dan sistem presidensial merupakan dua sistem yang sulit digabungkan. Hal ini setidaknya telah dibuktikan pada 31 negara yang masuk kategori demokrasi yang stabil. Setidaknya ada tiga alasan mengapa kombinasi ini menimbulkan permasalahan. Tidak adanya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mayoritas mutlak dalam legislatif ditambah dengan pembagian kekuasaan menimbulkan deadlock antara eksekutif dan legislatif. Dibandingkan dengan sistem dua partai, sistem multipartai lebih banyak menimbulkan polarisasi ideologi, serta koalisi antar partai akan lebih sulit untuk dibangun dan dipelihara pada sistem presidensial dibandingkan dalam sistem parlementer.Untuk dapat tercapainya suatu sistem pemerintahan yang efektif, maka perlu pemikiran yang serius untuk menyelesaikan hambatan-hambatan yang mungkin timbul dari persoalan personalisasi lembaga kepresidenan, koalisi yang memerintah, serta hubungan kelembagaan.

Untuk menjawab pesimisme tersebut maka hal-hal yang berkaitan dengan problema kecendrungan personalisasi lembaga kepresidenan, perlu dibuatkan pengaturan kelembagaan detail yang memungkinkan munculnya lembaga kepresidenan yang kuat. Beberapa hal yang mestinya melekat pada konseptualisasinya, seperti refleksi konseptual, substansi, filosofi, serta kewenangan dari presiden. Shugart and Carey sebagai contoh menguraikan dimensi kewenangan presiden:


We identify two basic dimensions of presidential power: one concerning power over legislation, the other encompassing non-legislative powers…The first set of aspects entail legislative powers constitutionally granted to the president. These aspects are the veto, the partial veto/override, presidential authority to legislate by decree, exclusive right to initiate certain legislative proposals, budgetary initiative, and power to propose referenda. Aspects of presidential power apart from the legislative domain include cabinet formation, cabinet dismissal ….

(Kami mengidentifikasi dua dimensi dasar dari kekuasaan presiden: kewenangan tentang legislasi, dan yang lain adalah kewenangan non-legislasi. Aspek pertama yang berkaitan dengan kewenangan legislasi yang dijamin konstitusi kepada presiden. Aspek-aspek tersebut adalah hak veto, hak veto bagian, mengeluarkan dekrit presiden, membuat usulan undang-undang, hak budget, dan membuat usulan referendum. Aspek yang merupakan kekuasan presiden tetapi terlepas dari domain legislatif termasuk pembentukan kabinet, pemberhentian anggota kabinet...)

Hal ini tidak terlepas dari pesan historik yang tertuang dalam konstitusi maupun aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Kedua, adalah adanya suatu sistem pemilihan lembaga kepresidenan yang sesuai dengan paparan yang di atas. Sebagai contoh kalau hendak memilih presiden yang mewakili segenap rakyat dan teritori seluruh Indonesia, maka harus dibuat mekanisme yang memungkinkan persyaratan itu dipenuhi. Dalam teori, sistem dua putaran lebih memungkinkan munculnya calon yang demikian. Oleh karena persyaratan suara mayoritas absolut dan wilayah bisa dilekatkan pada putaran pertama dan persyaratan suara terbanyak bisa dilekatkan pada putaran kedua. Ketiga adalah perlu dikaji peran dan fungsi berbagai elemen penunjang lembaga kepresidenan serta pembentukan struktur kelembagaan penunjang berdasarkan fungsi tersebut. Perlu juga dibuatkan pengaturan peran, lingkup aktivitas, serta hubungan elemen-elemen tersebut secara keseluruhan. Semuanya ditujukan untuk tercapainya sistem pemerintahan yang efektif.

Persoalan gabungan partai politik pendukung Presiden dan Wakil presiden terpilih sebagaimana telah diarahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, secara teoretik mestinya dilanjutkan dengan formalisasi koalisi antara partai politik atau gabungan partai politik. Formalisme koalisi tersebut yang memiliki kader yang duduk dalam kabinet Presiden dan Wakil presiden terpilih. Koalisi ini diharapkan akan mencegah polarisasi dan fragmentasi berlebihan antara berbagai kekuatan yang ada. Koalisi yang demikian memberikan dukungan riil bagi penyelenggaraan pemerintahan secara lebih efektif dalam masa jabatan Presiden dan Wakil presiden Bagi munculnya sebuah koalisi yang berarti maka faktor kepemimpinan dalam partai dan kedisiplinan partai menjadi kunci. Karenanya adalah sesuatu yang mendesak untuk memperhatikan keterkaitan dan kalau perlu keberlanjutan koalisi antar partai sebelum dan setelah pemilihan presiden.

D. Hubungan Sistem Kepartaian dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan Sistem Presidensial.

Beberapa literatur menunjukkan adanya hubungan yang relatif konsisten antara sistem kepartaian dalam kaitannya dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama koalisi yang mengantarkan presiden untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan untuk menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya. Alasan lain adalah bahwa komitmen anggota Dewan terhadap kesepakatan yang dibuat pimpinan partai jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain tidak adanya disiplin partai membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti. Perubahan dukungan dari pimpinan partai sangat juga ditentukan oleh perubahan kontekstual dari konstelasi politik yang ada.

Tawaran yang diberikan untuk memperkuat presidensial dengan membuatnya mampu memerintah adalah dengan menyederhanakan jumlah partai. Jumlah partai yang lebih sederhana (efektif) akan mempersedikit jumlah veto point dan biaya transaksi politik. Perdebatan yang terjadi diharapkan menjadi lebih fokus dan berkualitas. Publik juga akan mudah diinformasikan baik tentang keberadaan konstelasi politik maupun pilihan kebijakan bila jumlah kekuatan politik lebih sederhana.

Sistem kepartaian mempunyai hubungan sinergik dengan sistem Pemilu yang sekaligus menunjukan dianutnya tipe pemilihan umum plural majority dan akan menghasilkan jumlah partai yang lebih sedikit. Selain itu ada pula tipe pemilihan umum sistem representasi proporsional yang akan melahirkan sistem multi partai. Untuk dapat menghasilkan tipe sistem kepartaian sederhana, maka perlu pengkondisian dalam proses pemilu. Untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya biasanya diberikan syarat minimal suara atau electoral threshold.


BAB III
PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2003
TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara umum telah mengatur berbagai ketentuan yang diperlukan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Namun demikian, pengamatan yang didasarkan pada perkembangan dinamika politik dan kemasyarakatan, evaluasi terhadap pengalaman penyelenggaraan Pemilihan Umum pada waktu sebelumnya, menimbulkan adanya berbagai aspirasi untuk melakukan beberapa perbaikan/penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tersebut.
Berdasarkan evaluasi terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yang banyak mendapat perhatian masyarakat adalah problematika mengenai: penyelenggara, hak memilih, pendaftaran pemilih, persyaratan calon, kampanye, pengadaan perlengkapan, pemungutan suara, penghitungan suara, calon berhalangan tetap, pengawasan, pemantauan, penyelesaian sengketa, dan sanksi pidana.
Hal-hal yang mendapat perhatian masyarakat tersebut di atas secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penyelenggara
Dengan telah dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, maka semua ketentuan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berkait dengan Undang-undang tersebut di atas perlu dilakukan penyesuaian dan penyempurnaan. Hal ini perlu dilakukan mengingat rancangan undang-undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu rangkaian pengaturan dalam bidang politik.
2. Hak Memilih
Ada berbagai pandangan yang berkembang menyangkut hak memilih bagi anggota TNI dan anggota POLRI dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sementara pandangan, dengan mendasarkan pada ketentuan tentang Hak Asasi Manusia menginginkan agar kepada anggota TNI dan anggota POLRI diberikan sebagaimana halnya anggota masyarakat lainnya. Pada sisi yang lain, anggota TNI dan anggota POLRI yang memiliki tugas pokok dan fungsi antara lain menjaga keutuhan NKRI serta melindungi keamanan masyarakat perlu dipertimbangkan kembali agar anggota TNI dan anggota POLRI tidak menggunakan hak memilihnya. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut secara mendalam lebih lanjut dalam kaitannya dengan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden .
3. Pendaftaran Pemilih
Dari pengalaman penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya, banyak terjadi kasus dimana masyarakat yang memiliki hak memilih dirugikan sebagai akibat kekurang tertiban dalam proses pendaftaran pemilih. Hal itu dapat terjadi karena mekanisme pendaftaran, kelalaian petugas, dan juga kelalaian pemilih yang bersangkutan. Belajar dari pengalaman tersebut penyusunan daftar pemilih perlu mendapat perhatian sehingga berbagai kelemahan pada masa yang lalu dapat diperbaiki secukupnya. Oleh karena itu direkomendasikan oleh naskah akademik agar hal tersebut diamasukkan menjadi ketentuan dalam undang-undang penyempurnaan.


4. Persyaratan Calon
Pencalonan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, merupakan aspek yang sangat penting mengingat calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih nantinya akan menjadi kepala pemerintahan selama 5 tahun ke depan. Selain syarat-syarat yang sudah ditentukan sebagai bakal calon perlu dilakukan verifikasi yang intensif terhadap dokumen-dokumen persyaratan yang harus diserahkan oleh setiap pasangan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. Salah satu hal yang penting adalah melakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan digunakannya ijazah palsu dalam proses pencalonan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

5. Kampanye
Dalam pelaksanaan kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden banyak dijumpai berbagai kasus yang merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan kajian, kasus-kasus tersebut berkaitan dengan rentang waktu kampanye yang dianggap tidak cukup sehingga pelaksana kampanye cenderung melakukan curi start atau melakukan kampanye di luar jadwal yang ditetapkan. Selain itu, juga terjadi kasus dimana pihak-pihak yang seharusnya dilarang dilibatkan dalam kampanye, tetapi diikutsertakan dalam kampanye. Selanjutnya juga, materi kampanye pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden belum mencantumkan materi-materi yang bersifat mendasar seperti Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian juga persepsi masyarakat yang masih menganggap belum adanya transparansi dan pertanggungjawaban dalam pengelolaan dana kampanye. Hal-hal tersebut perlu dipikirkan untuk penyempurnaan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengingat hal tersebut dipandang masih belum memadai.

6. Pengadaan Perlengkapan
Dalam hal perlengkapan penyelenggaraan Pemilu, banyak pandangan yang menyatakan bahwa tanggung jawab pengadaannya seyogyanya tidak menjadi kewenangan KPU sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut dapat mengganggu konsentrasi para anggota KPU untuk menjalankan kewenangan, tugas pokok dan fungsinya yang bersifat lebih mendasar. Masalah tersebut dapat dipecahkan dengan kemungkinan melimpahkan pelaksanaan pengadaan perlengkapan penyelenggaraan pemilu dari anggota KPU kepada Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum. Dengan demikian tanggungjawab penyelenggaraan pemilu dapat lebih dibagi secara proporsional, mendasar dan dapat lebih meningkatkan tertib administrasi pengadaan barang dan jasa khususnya dalam rangka pengadaan perlengkapan penyelenggaraan pemilu.

7. Pemungutan Suara
Berdasarkan hasil pengamatan oleh berbagai kalangan dalam pelaksanaan pemungutan suara di TPS pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, bahwa dari segi jumlah pemilih pada setiap TPS dipandang kurang efisien oleh karena sebelum batas waktu berakhirnya pemungutan suara, proses pelaksanaan pemungutan suara sudah selesai sebelum batas waktu yang ditentukan, tentunya hal ini kurang efisien. Atas dasar hal tersebut maka jumlah pemilih pada setiap TPS perlu penambahan yang signifikan. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan efisiensi Namun tetap berpegang pada azas penyelenggaraan pemilu maka ketentuan mengenai pemungutan suara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan, utamanya penambahan jumlah pemilih di setiap TPS.

8. Penghitungan Suara

Dari pengalaman Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, khususnya dalam proses penghitungan suara banyak ditemukan protes atau komplain bahkan adanya gugatan terhadap hasil penghitungan suara oleh masyarakat, saksi-saksi dari partai politik, dan pasangan calon. Hal ini dapat terjadi oleh karena berbagai kemungkinan seperti mekanisme penghitungan suara yang kurang memadai, kelalaian petugas penghitungan suara pada berbagai tingkatan proses penghitungan suara. Ketidak tepatan dalam penghitungan suara dapat menyebabkan kemungkinan ketidak absahan penetapan hasil pemilu. Oleh karena itu perlu dipikirkan upaya-upaya perbaikan terhadap ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan proses penghitungan suara.

9. Calon Berhalangan Tetap

Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur ketentuan tentang pelantikan dinilai masih kurang memadai. Hal tersebut terutama yang berkaitan dengan belum diaturnya kemungkinan-kemungkinan jika pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan. Dalam hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan-ketentuan dimaksud sehingga kemungkinan terjadinya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih berhalangan tetap, dapat diantisipasi sedini mungkin.

10. Pengawasan
Berdasarkan pengalaman atas penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya, banyak terjadi kasus yang dilaporkan kepada lembaga pengawas pemilu, namun demikian, pada berbagai evaluasi dan pandangan masyarakat ternyata banyak kasus tidak dapat ditindak lanjuti dan diselesaikan secara memadai sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu perlu diupayakan agar lembaga pengawasan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditingkatkan peran dan fungsinya sehingga dapat melakukan pengawasan yang lebih efektif dengan dituangkan dalam ketentuan undang-undang.

11. Pemantauan
Pemantauan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Hal ini disebabkan oleh karena pemantauan selain dapat membantu perbaikan citra pelaksanaan Pemilu, juga melibatkan banyak pihak baik dari dalam maupun dari luar negeri. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai Pemantauan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden masih dipandang sangat minim dan baru diatur secara umum dalam dua pasal. Perlu dipikirkan upaya-upaya untuk mengatur hal pemantauan Pemilu tersebut secara memadai sehingga semua pihak yang terlibat di dalam proses pemantauan dapat memahami hak dan kewajibannya sehingga dapat memberikan kontribusi yang sebaik-baiknya terhadap penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

12. Penyelesaian Sengketa

Berdasarkan pengalaman dalam penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya, banyak terjadi kasus yang dilaporkan kepada lembaga pengawas pemilu, namun demikian, pada bebagai evaluasi dan pandangan masyarakat ternyata banyak kasus tidak dapat ditindak lanjuti dan diselesaikan secara memadai dalam waktu yang cepat sesuai dengan harapan masyarakat. Bahkan banyak diantarannya tidak ditindaklanjuti. Untuk itu perlu diupayakan agar ada perbaikan supaya kasus-kasus sengketa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diselesaikan secara lebih tertib dalam waktu yang cepat melalui pengadilan dalam waktu yang dibatasi oleh undang-undang.

13. Sanksi Pidana

Ketertiban dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, salah satunya sangat dipengaruhi oleh kepatuhan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Kepatuhan dapat terwujud apabila ada ketentuan sebagai alat memaksa yang mengatur sanksi apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam setiap tahapan Pemilu. Sanksi-sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dipandang masih ringan sehingga perlu diatur ketentuan pemberatan sanksi pidana sesuai dengan perkembangan saat ini.


BAB IV
MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG


A. Materi Penyempurnaan

Rincian rencana penyempurnaan yang dilakukan di berbagai ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan Umum.

Rincian rencana penyempurnaan yang harus dilakukan dan akan menjadi materi muatan dalam batang tubuh RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden mengandung banyak hal yang baru. Hal baru yang menjadi muatan materi penyempurnaan adalah seperti persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden, penyusunan daftar pemilih, verifikasi pasangan bakal calon, masa kampanye, materi kampanye, larangan dalam kampanye, dana kampanye, pengadaan dan distribusi perlengkapan Pemilu, ketentuan tentang calon Presiden terpilih yang berhalangan tetap sebelum pelantikan, pengawasan, penyelesaian perselisihan Pemilu dan ketentuan pidana.

Dalam ketentuan umum tidak banyak perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya dilakukan beberapa penyesuaian dengan Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilu, RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

2. Asas, Pelaksanaan, Lembaga Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

2.1. Asas dan Pelaksanaan

Kententuan mengenai asas di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak harus diadakan perubahan karena rumusan asas tersebut sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian pula halnya dengan ketentuan mengenai pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden , yang tidak mengalami perubahan rumusan karena sudah sesuai dan dapat dilaksanakan sebagaimana yang telah menjadi pengalaman konstitusional yang lalu.

2.2. Lembaga Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Sehubungan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sepanjang mengenai lembaga penyelenggara Pemilu telah dilakukan perubahan mendasar. Perubahan tersebut adalah dengan dibentuknya undang-undang tersendiri mengenai lembaga penyelenggara Pemilu, sehingga semua ketentuan tersebut di atas dipindahkan menjadi rumusan di dalam undang-undang mengenai lembaga penyelenggara Pemilu. Oleh karena itu di dalam RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya diatur dalam satu pasal saja mengenai keberadaan KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, pengawas lapangan dan Panwaslu Luar Negeri.

3. Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Ketentuan mengenai Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu diadakan penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut mengenai persyaratan calon Presiden dan Wakil presiden terutama tentang penambahan syarat bahwa calon tidak pernah dihukum penjara karena korupsi dan/atau melanggar Ham berat serta penghapusan syarat calon tidak pernah dijatuhi pidana penjara yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

4. Hak Memilih

Kententuan mengenai hak memilih di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak harus diadakan perubahan karena rumusan hak memilih tersebut sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Penyusunan Daftar Pemilih

Ketentuan mengenai penyusunan daftar pemilih dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu diadakan penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan harus memerinci hal-hal penting yang berkaitan dengan pemutakhiran data, daftar pemilih sementara, daftar pemilih tetap, daftar pemilih perubahan, rekapitulasi pemilih dan penerbitan kartu pemilih. Pemutakhiran data ini dilakukan sehubungan dengan lahirnya Undang-Undang tentang Adminsitrasi Kependudukan, hal tersebut harus dilakukan guna meningkatkan akurasi data dan terjamin hak-hak pemilih. Hal tersebut direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar dimasukan menjadi ketentuan hukum dalam RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

6. Pencalonan

Ketentuan mengenai Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan terutama untuk menghindari adanya penggunaan dokumen palsu. Berkaitan dengan hal ini pengaturan mengenai dokumen palsu harus dipertegas dalam RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lolosnya pasangan calon yang mungkin menggunakan dokumen palsu. Oleh karena itu direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar hal tersebut di atas dimasukkan dalam ketentuan RUU ini.

7. Kampanye

Ketentuan mengenai kampanye dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan untuk menghindari adanya pelanggaran kampanye oleh pasangan calon atau tim kampanye terutama dalam mencuri start kampanye (waktu kampanye). Selain itu harus ada penegasan penyempurnaan materi kampanye dengan mewajibkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk dimasukkan menjadi bagian pokok materi kampanye. Demikian pula halnya mengenai ketentuan dana kampanye terutama berkaitan dengan rekening khusus, kewajiban pelaporan, pencatatan penerimaan dan penggunaan sumbangan, dan audit dana kampanye. Berkaitan dengan hal ini pengaturan mengenai kampanye harus dipertegas dalam RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Oleh karena itu perlu direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar hal tersebut di atas dimasukkan dalam ketentuan RUU ini.

8. Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu

Setelah dilakukan pengkajian mengenai ketentuan yang mengatur Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan untuk membangun tertib administrasi pengadaan Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu. Sehubungan dengan hal tersebut harus ada penegasan tanggungjawab pengadaan Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu. Berkaitan dengan hal ini pengaturan mengenai pengadaan Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu harus dipertegas menjadi tanggungjawab Sekretaris Jenderal. Hal tersebut perlu direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar hal tersebut di atas dimasukkan dalam ketentuan RUU ini.

9. Pemungutan Suara

Ketentuan mengenai pemungutan suara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan untuk meningkatkan efisiensi dengan tetap berpegang teguh pada maksud dan esensi diselenggarakan Pemilu. Berkaitan dengan hal ini pengaturan mengenai pemungutan suara harus dipertegas dalam RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan meningkatkan jumlah pemilih dalam setiap TPS. Oleh karena itu perlu direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar hal tersebut di atas dimasukkan dalam ketentuan RUU ini.

10. Penghitungan Suara

Sehubungan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sepanjang mengenai lembaga penyelenggara Pemilu telah dilakukan perubahan mendasar, maka penghitungan suara dalam RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus menyesuaikan dengan Undang-Undang yang mengatur Penyelenggara Pemilu. Esensi dari penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terletak pada mekanisme penghitungan suara. Dari pengalaman Pemilu Preiden dan Wakil Presiden yang lalu, harus dirubah mekanismenya dari PPS menjadi KPPS. Mekanisme tersebut dirubah dengan maksud untuk menghindari adanya kemungkinan kecurangan dalam penghitungan suara di PPS.

11. Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Setelah dilakukan pengkajian yang mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terutama mengenai Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diperbandingkan dengan pengalaman Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, hal ini dipandang masih relevan. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan perubahan dan diadop dalam RUU.

12. Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih
Setelah dilakukan pengkajian yang mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terutama mengenai Penetapan pasangan calon Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terpilih diperbandingkan dengan pengalaman Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, hal ini dipandang masih relevan. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan perubahan dan diadop dalam RUU.

13. Pelantikan
Ketentuan mengenai pelantikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan. Dengan demikian perlu ada penegasan penyempurnaan materi dengan mengatur ketentuan yang merespons kemungkinan terjadi. Kemungkinan tersebut seperti calon Presiden terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan, calon Wakil Presiden terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih kedua-duanya berhalangan tetap. Berkaitan dengan hal ini pengaturan mengenai pelantikan harus dipertegas dan dirinci dalam RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu perlu direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar hal tersebut di atas dimasukkan dalam ketentuan RUU ini.
14. Pemungutan Suara Ulang dan Penghitungan Suara Ulang
Setelah dilakukan pengkajian yang mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terutama mengenai Pemungutan Suara Ulang dan Penghitungan Suara Ulang, diperbandingkan dengan pengalaman Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, hal ini dipandang masih relevan. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan perubahan dan diadop dalam RUU.
15. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Lanjutan, dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Susulan
Setelah dilakukan pengkajian yang mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terutama mengenai Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Lanjutan, dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Susulan diperbandingkan dengan pengalaman Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, hal ini dipandang masih relevan. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan perubahan dan diadop dalam RUU.
16. Pengawasan
Ketentuan mengenai pengawasan, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan meningkatkan efektivitas pengawasan pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian perlu ada penegasan penyempurnaan materi dengan mengatur ketentuan pengawasan dalam porsi yang lebih besar atau dalam Bab tersendiri. Berkaitan dengan hal ini pengaturan mengenai pengawasan harus dipertegas dan dirinci dalam RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Oleh karena itu perlu direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar hal tersebut di atas dimasukkan dalam ketentuan RUU ini.
17. Pemantauan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Ketentuan mengenai Pemantauan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu diadakan penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan harus memerinci hal-hal penting yang berkaitan dengan jenis pemantau, persyaratan dan tata cara, wilayah kerja, tanda pengenal, hak dan kewajiban, larangan, sanksi, pelaksanaan, pelaporan dan fasilitasi. Hal tersebut direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar dimasukkan menjadi ketentuan dalam RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
18. Penyelesaian Perselisihan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Dalam upaya mengantisipasi adanya perkara perselisihan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diselesaikan melalui pengadilan negeri, pengadilan tata usaha negara, pengadilan tinggi, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, perlu dibentuk majelis hakim ad hoc dengan tujuan Majelis Hakim selalu tersedia. Jumlah majelis hakim ad hoc baik penunjukan sebagai anggota majelis hakim ad hoc, pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding maupun penempatan ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
Guna mempercepat penyelesaian perkara perselisiahan hasil Pemilu perlu diatur juga dalam undang-undang ini, di dalam penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu dibatasi waktunya dan memastikan batas waktunya seperti rumusan Mahkamah Konstitusi berwenang menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan mengenai hasil pemilihan umum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, paling lambat 14 (empat belas) hari sejak permohonan didaftarkan pada kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Mengantisipasi kemungkinan tindak pidana Pemilu, penyidikan terhadap tindak pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam undang-undang ini dilakukan oleh penyidik kepolisian sesuai dengan perundang-undangan, dan jika ada pengecualian, perlu diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Untuk mempercepat proses penyidikan dilakukan dan diserahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak diterimanya laporan atau tertangkap tangan oleh penyidik. Jangka waktu ini dimaksudkan agar tidak berlama-lama dalam proses penyidikan. Demikian pula untuk memenuhi petunjuk jaksa penuntut umum apabila berkas perkara belum dinyatakan lengkap, tenggang waktu tersebut sudah harus termasuk jangka waktu penyidik melakukan penyidikan tambahan. Dalam hal berkas perkara dipandang lengkap jaksa penuntut umum melimpahkan perkara kepada pengadilan dilakukan paling lambat 5 (lima) hari sejak berkas perkara dari penyidik diserahkan kepada jaksa.
Pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap perkara tindak pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, harus dilakukan dalam waktu yang singkat sebanding dengan jangka waktu penyelenggara Pemilu yang singkat. Disarankan agar paling lambat 7 (tujuh) hari sejak perkara didaftar pada kepaniteraan pengadilan negeri perkara sudah diselesaikan. Langkah tambahan untuk mempersingkat penyelesaian perkara pada tingkat banding disarankan agar pengadilan tinggi menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara pada tingkat banding sebagai pengadilan tingkat terakhir dan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain dan paling lambat 7 (tujuh) hari perkara didaftar pada kepaniteraan pengadilan tinggi.
Untuk merespons kemungkinan terdapat perkara perselisihan dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dimintakan untuk diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, perlu ditegaskan agar Pengadilan Tata Usaha Negara menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak perkara didaftar pada kepaniteraan pengadilan Tata Usaha Negara. Perlu ada ketegasan dalam undang-undang ini untuk menghindaari berlarut-larutnya penyelesian perkara, perlu dibuat ketentuan yang memerintgahkan agar pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, perkara pada tingkat banding sebagai pengadilan tingkat terakhir dan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain.
Demikian pula halnya agar diatur secara tegas sehingga pengadilan tinggi tata usaha negara dalam menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara pada tingkat banding sebagai pengadilan tingkat terakhir paling lambat 7 (tujuh) hari sejak perkara didaftar pada kepaniteraan pengadilan tinggi. Saran-saran tersebut di atas direkomendasikan naskah akademik ini untuk dijadikan ketentuan dalam undang-undang penyempurnaan.

19. Ketentuan Pidana

Pengaturan mengenai Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu diadakan penyempurnaan dengan pemberatan hukuman. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kinerja petugas dan kepatuhan semua pihak dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu perlu penambahan lama hukuman dan jumlah denda.

20. Ketentuan Peralihan
Dalam Rancangan Undang-Undang ini ditegaskan kembali bahwa dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, anggota TNI dan anggota POLRI tidak menggunakan hak memilihnya.

B. Susunan Rancangan Undang-Undang
RUU tentang Pemilihan Umum Presdien dan Wakil Presiden disusun dengan struktur Bab dan Pasal, yang terdiri atas 21 Bab dan 245 Pasal. Dibandingkan dengan UU Nomor 23 Tahun 2003 yang terdiri atas 15 Bab dan 103 Pasal, maka dalam RUU terdapat penambahan 6 Bab dan 142 Pasal.
Secara lengkap, ke 21 Bab dan 245 Pasal dalam RUU adalah:
BAB I KETENTUAN UMUM;
terdiri atas 1 pasal, yaitu Pasal 1.
BAB II ASAS, PELAKSANAAN, DAN LEMBAGA PENYELENGGARA PELPRES;
terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 2 sampai dengan Pasal 4.
BAB III PESERTA DAN PERSYARATAN MENGIKUTI PELPRES;
terdiri atas 5 pasal, yaitu Pasal 5 sampai dengan Pasal 9.
BAB IV HAK MEMILIH;
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 10 sampai dengan Pasal 11.
BAB V PENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH;
terdiri atas 22 pasal, yaitu Pasal 12 sampai dengan Pasal 33.
BAB VI PENCALONAN;
terdiri atas 13 pasal, yaitu Pasal 34 sampai dengan Pasal 46.
BAB VII KAMPANYE;
terdiri atas 24 pasal, yaitu Pasal 47 sampai dengan Pasal 70.
BAB VIII PERLENGKAPAN PENYELENGGARAAN PILPRES;
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 71 sampai dengan Pasal 72.
BAB IX PEMUNGUTAN SUARA;
terdiri atas 20 pasal, yaitu Pasal 73 sampai dengan Pasal 92.
BAB X PENGHITUNGAN SUARA;
terdiri atas 13 pasal, yaitu Pasal 93 sampai dengan Pasal 115.
BAB XI PENETAPAN HASIL PILPRES;
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 116 sampai dengan Pasal 117.
BAB XII PENETAPAN PASANGAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERPILIH;
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 118 sampai dengan Pasal 119.
BAB XIII PELANTIKAN;
terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 120 sampai dengan Pasal 122.
BAB XIV PEMUNGUTAN SUARA ULANG DAN PENGHITUNGAN SUARA ULANG;
terdiri atas 4 pasal, yaitu Pasal 123 sampai dengan Pasal 126.
BAB XV PILPRES LANJUTAN DAN PILPRES SUSULAN;
terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 127 sampai dengan Pasal 129.
BAB XVI PENGAWASAN;
terdiri atas 38 pasal, yaitu Pasal 130 sampai dengan Pasal 167.
BAB XVII PEMANTAUAN PILPRES;
terdiri atas 19 pasal, yaitu Pasal 168 sampai dengan Pasal 186.
BAB XVIII PENYELESAIAN PERSELISIHAN DALAM PILPRES;
terdiri atas 11 pasal, yaitu Pasal 187 sampai dengan Pasal 197.
BAB XIX KETENTUAN PIDANA;
terdiri atas 45 pasal, yaitu Pasal 198 sampai dengan Pasal 242.
BAB XX KETENTUAN PERALIHAN;
terdiri atas 1 pasal, yaitu Pasal 243.
BAB XXI KETENTUAN PENUTUP;
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 244 sampai dengan Pasal 245.



BAB VII
PENUTUP

Naskah akademik ini telah diupayakan seoptimal mungkin namun dihubungkan dengan realitas dan tuntutan masyarakat tentu masih jauh dari sempurna. Naskah akademik ini, dijadikan dasar dan acuan dalam rangka penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Hal ini tercermin dari materi yang dimuat dalam naskah akademik ini yang secara substansial dapat dituangkan dalam rumusan bab, pasal dan ayat. Dengan demikian, melalui perumusan yang cermat dan mengakomodasi seluruh kondisi empirik dari pengalaman pelaksanaan sebelumnya diharapkan hal ini menjadi titik tolak menuju iklim demokrasi Indonesia yang lebih baik dengan tetap berlandaskan pada akar budaya bangsa.
Lampiran
Hari Ini Voting RUU Pemilu
16 Parpol di DPR Bisa Langsung Ikut Pemilu 2009
Kamis, 28 Februari 2008 | 02:37 WIB
Jakarta, Kompas - Voting tak terhindarkan dalam rapat paripurna DPR hari Kamis (28/2) ini untuk mengesahkan Rancangan Undang Undang Pemilihan Umum untuk Anggota DPR, DPD dan DPRD. Perbedaan tajam di antara fraksi-fraksi DPR tetap belum dapat terjembatani sampai Rabu pukul 24.00.
Dari enam materi krusial yang dibahas, empat di antaranya berhasil disepakati. Dua materi alot yang tersisa adalah soal penghitungan sisa suara dan penentuan calon terpilih.
Kubu yang ingin sisa suara ditarik ke provinsi saling bersikeras dengan kubu yang ingin perhitungan selesai di tingkat daerah pemilihan (dapil).
Sementara dalam soal penetapan calon terpilih, ketika ada lebih dari seorang calon yang mencapai 30 persen bilangan pembagi pemilih (PBB); ada kelompok fraksi yang ingin nomor urut diberlakukan, namun ada juga yang ingin suara terbanyak yang menentukan.
Dalam lobi semalam, kemajuan signifikan terjadi sekitar pukul 22.10, ketika para pimpinan fraksi mencapai kesepakatan atas empat materi krusial.
Materi yang alot namun akhirnya terselesaikan adalah soal ketentuan ambang batas (threshold). Fraksi-fraksi sepakat parliamentary threshold (PT) besarnya 2,5 persen dan electoral threshold (ET) 3 persen.
Namun, ketentuan itu disertai aturan peralihan, yaitu parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak lolos ET berdasarkan UU 12/2003 namun punya kursi di DPR, tetap bisa menjadi peserta Pemilu 2009.
Dengan adanya aturan peralihan tersebut, 16 parpol yang saat ini mengisi DPR bisa langsung ditetapkan sebagai parpol peserta Pemilu 2009.
Padahal, jika ketentuan ET pada UU 12/2003 tidak "dihanguskan", hanya 7 parpol saja yang langsung bisa ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2009. Ke-7 parpol itu adalah Partai Golkar, PDIP, PPP, Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PKS. Ke-9 parpol lainnya adalah PBR, PDS, PBB, PPDK, Partai Pelopor, PKPB, PNI Marhaenisme, PKPI, dan PPDI.
Ketentuan peralihan tersebut langsung disambut gembira sejumlah parpol kecil yang terancam tak lagi ikut Pemilu 2009. Anggota Panitia Khusus RUU seperti Jamaluddin Karim, Ali Mochtar Ngabalin (PBB), Ryaas Rasyid (PPDK), Bachrum Siregar (PBR), dan Pastor Saut Hasibuan (PDS) terlihat sumringah saat keluar dari ruangan tempat lobi dilaksanakan. "Alhamdulillah, setidaknya masih ada harapan di 2009," kata Jamaluddin.
Kesepakatan lain yang dicapai dalam lobi antarfraksi adalah jumlah kursi DPR sebanyak 560 kursi. Besaran daerah pemilihan 3-10 kursi. Cara pemberian suara adalah dengan memberikan tanda di surat suara.
Pihak pemerintah dalam sesi pertama lobi dengan pimpinan fraksi DPR mengharapkan agar ada titik temu terlebih dulu di lingkup internal DPR. Pemerintah tidak anti dengan mekanisme pemungutan suara, namun tetap diharapkan terlebih dulu ada kompromi antarfraksi.
Menteri Dalam Negeri Mardiyanto menyebutkan, prinsipnya tidak seluruh enam materi krusial harus divoting. Semaksimal mungkin pengambilan keputusan lewat voting dihindari.
Selain Mendagri dan Menhuk dan HAM, dari pihak pemerintah juga hadir Mensesneg Hatta rajasa.
Tawar menawar
Tanda-tanda kemajuan mulai terlihat ketika Fraksi Partai Golkar menarik usulannya tentang syarat calon anggota lembaga legislatif. Awalnya Fraksi Golkar menginginkan bekas terpidana bisa dicalonkan.
Selain itu, soal pemberian suara juga disepakati dengan cara memberi tanda pada surat suara, namun dengan tetap mempertimbangkan aspek kemudahan dan efisiensi.
Mengenai kemungkinan pemerintah tidak sependapat dengan hasil lobi antarfraksi DPR, anggota Pansus Ali Masykur Musa (FKB) menyebut kemungkinan itu hanya akan menciptakan situasi yang tidak kondusif terhadap sistem ketatanegaraan. Jangan sampai pemerintah memperuncing hubungan DPR dengan pemerintah,” katanya.
Draf Peraturan
Komisi Pemilihan Umum sudah menyiapkan perangkat aturan untuk pelaksanaan Pemilu 2009. Namun, aturan itu belum bisa disahkan menjadi Peraturan KPU, sebelum RUU Pemilu disahkan. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary, Rabu , mengatakan, saat ini KPU sudah mengantisipasi dengan menyiapkan draf peraturan KPU menggunakan UU 12/2003, tetapi KPU tetap akan membutuhkan waktu untuk mengubah draf itu bila RUU Pemilu disahkan.
Dia mencontohkan, untuk tanggal 9 Februari dijadwalkan pendaftaran dan verifikasi calon anggota DPD. Namun, tanggal ini pun sudah lewat. Jadwal lainnya pada 9 Maret dijadwalkan pendaftaran partai politik sebagai peserta pemilu dan dilanjutkan verifikasi. ”Kalau pun RUU Pemilu disahkan besok (Kamis, 28/2), tidak mungkin juga dalam waktu sepuluh hari bisa membuka pendaftaran,” kata Hafiz yang kemarin menandatangani nota kesepahaman dengan Country Director UNDP Hakan Bjorkman tentang program dukungan teknis pelaksanaan Pemilu 2009.
Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata secara terpisah mengemukakan, KPU periode 2007-2012 lebih siap dari KPU sebelumnya. Pengalaman menunjukkan, waktu tiga bulan cukup untuk penyelenggaraan pemilu demokratis pertama dan rumit pada tahun 1999.
Mantan Anggota KPU Mulyana W Kusumah saat dihubungi di Solo, menyebutkan, beban KPU untuk menyelenggarakan pemilu 2009 lebih berat dibandingkan pemilu 2004. Jika KPU lalu hanya bertugas menyelenggarakan pemilu nasional, namun sekarang KPU juga harus mengawasi penyelenggarakan pilkada yang beberapa di antaranya bermasalah. ”Konsultasi yang dilakukan KPUD menjadi beban tersendiri bagi KPU,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, lanjut Mulyana, maka KPU harus segara melakukan konsolidasi internal organisasi. Peran Biro di Sekretariat Jenderal KPU harus dioptimalkan. terlebih lagi, dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu jumlah biro dikurangi dari 10 biro (bukan 11 biro) menjadi tujuh biro.(DIK/SIE/INU/MZW)
Tarik Ulur Pengajuan RUU Bidang Politik
Janji pemerintah akan menyerahkan paket Rancangan Undang-undang (RUU) Bidang Politik ke DPR belum juga diwujudkan hingga sekarang. Padahal, pemerintah sudah tiga kali berkomitmen akan mengajukan ke DPR. Dan, sudah tiga kali pula membahasnya di dalam rapat kabinet. Namum, hasilnya masih belum jelas. Kalangan DPR pun dibuat resah. Pasalnya, makin lama RUU diajukan, makin mepet pula waktu pembahasannya. Spekulasi pun muncul, ini sikap kehati-hatian pemerintah atau sarat kepentingan politik?
============================================================
Harap-harap cemas mulai dirasakan masyarakat, terutama politisi di DPR. Jika berhitung waktu maka sisa waktu yang ada hingga Pemilu 2009 masih sekitar dua tahun lagi. Otomatis, pemerintah dan DPR harus menyelesaikan empat RUU di bidang politik sekitar satu tahun lagi. Karena sisa waktu yang ada harus dialokasikan untuk KPU dalam menyusun agenda pemilu 2009.
Bisa dibayangkan kejadian tertundanya agenda Pemilu yang dibebankan oleh KPU seperti sebelumnya bisa terulang lagi. Pasalnya, KPU tidak akan dapat bekerja jika UU Bidang Politik belum ada. Perangkat hukum berupa UU menjadi ruh dari sejumlah agenda pemilu mulai dari pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu; pendaftaran pemilih; penyusunan pedoman pelaksanaan pemilu; penetapan jumlah penduduk di masing-masing daerah pemilihan; penentuan jumlah kursi di tiap daerah pemilihan; pendidikan pemilih; penetapan peserta pemilu dan sejumlah agenda pemilu lainnya bisa terbangkali.
Janji pemerintah seperti sebelumnya selalu meleset. Mulanya, pemerintah berkomitmen akan mengajukan RUU Bidang Politik awal April 2007, namun tertunda dan menjanjikan lagi diajukan pada awal Mei, kemudian dijanjikan lagi pertengahan Mei. Hingga terakhir menjanjikan lagi akan diajukan ke DPR pada akhir Mei ini.
Anggota Komisi II DPR Ferry Mursyidan Baldan berharap janji pemerintah kali ini benar-benar ditepati. Agar pembahasan empat paket RUU Bidang Politik yang terdiri dari empat RUU yaitu RUU Partai Politik, RUU Pemilihan Umum, RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan RUU Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPD, DPR, dan DPRD, sesuai target DPR selesai akhir tahun 2007 ini, sehingga pihak lain seperti KPU, partai politik dan lembaga lainnya dapat menyusun agenda dengan baik.
Jika pemerintah mengajukannya Mei, masih ada waktu cukup bagi DPR untuk membahas pada persidangan ini dengan perhitungan Juni baru dibahas, sedangkan Juli DPR sudah reses lagi. Sebab, proses pembahasan sebuah RUU di DPR memerlukan waktu cukup panjang mulai dari penjadwalan pembahasan oleh Rapat Badan Musyawarah (Bamus), pembentukan Pansus, pengukuhan Pimpinan Pansus, penjelasan pemerintah, tahap meminta masukan masyarakat, penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari fraksi-fraksi. Kemudian pembahasan dari tingkat Pansus, Panitia Kerja, Tim Perumus, hingga Tim Sinkronisasi.
Masalah lain yang perlu juga dipikirkan jika RUU ini terlambat penyelesaiannya adalah kemungkinan adanya krisis ketatanegaraan. Pasalnya, masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla akan berakhir genap lima tahun pada 20 Oktober 2009. Jika sampai waktu itu, KPU belum menetapkan presiden/wapres terpilih karena persoalan teknis maka akan menimbulkan instabilitas nasional. Akan terjadi kekosongan kekuasaan karena presiden dan wapres baru belum terpilih.
Skenario Pemerintah
Berlarutnya pemerintah mengajukan RUU bidang politik menimbulkan kecurigaan DPR. Politisi di DPR menganggap pemerintah sengaja memperlambat mengajukan untuk kepentingan jangka panjangnya. Harus diakui, ada sejumlah isu-isu sensitif mewarnai subtansi dari materi RUU bidang politik. Misalnya syarat S1 yang disyaratkan dalam RUU Pilpres.
Reaksi dari PDI Perjuangan sangat keras. Mereka menolak adanya syarat tersebut karena akan mengganjal capres yang mereka usung Megawati Soekarnoputri. Masalah ini pun masuk dalam pembahasan di kabinet. Konon, pemerintah akhirnya merevisi ketentuan tersebut dengan menghilangkannya dari draf RUU.
Menko Polhukkam merangkap Mendagri ad Interim Widodo AS mengatakan, secara umum materi-materi untuk draft RUU sudah tuntas. Namun, pemerintah masih memerlukan waktu untuk harmonisasi draf yang ada. Proses harmonisasi dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM untuk selanjutnya diserahkan kepada Sekretariat Negara. Jika sudah lengkap, maka menunggu teken Presiden berupa amanat presiden (Ampres).
Masukan-masukan yang ada, menurutnya akan dipakai untuk penyempurnaan dan harmonisasi, termasuk keberatan dari sejumlah pihak atas materi yang ada dalam RUU. Ia berharap semua dapat memahami langkah yang diambil pemerintah dalam persoalan ini.
Anggota Komisi II DPR lainnya Syaifullah Mashum tetap berprasangka baik. Ia mengaku belum melihat adanya indikasi keterlambatan ini sebagai skenario buying time (teknik mengulur waktu) pemerintah agar materi krusial tidak mendapat porsi waktu perdebatan yang memadai. Saya belum melihat indikasi itu, kecuali kalau sampai mulur lagi, ujar mantan Ketua Pansus RUU Penyelenggara Pemilu ini.
Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) DPR Suharso Monoarfa berpendapat ada sesuatu di tingkat kabinet yang menyebabkan paket RUU bidang politik belum juga diserahkan ke DPR. Hingga saat ini, ia sendiri belum mengetahui persis latar belakang terlambatnya pengajuan ini.
Namun, ia menduga ada kaitannya dengan kesehatan Mendagri M Maruf yang dikenal sebagai orang kepercayaan Presiden Yudhoyono. Sebab, kalau hanya menunggu Ampres, tidak harus tergantung pada kesehatan Mendagri karena sudah ada Menko Polhukam Widodo AS sebagai Mendagri Ad interim Widodo AS.
* hardianto

Butir-butir Perubahan dalam
Materi Draf RUU Bidang Politik
RUU Partai Politik
1. Syarat Pendirian Partai
Adanya penambahan syarat minimal dukungan dari 50 menjadi 100 orang. Alasannya memperluas partisipasi masyarakat dalam pendirian parpol.
2. Keterwakilan Perempuan
Kewajiban memasukkan perempuan dalam kepengurusan partai minimal 30 persen dari jumlah yang ada. Alasannya kesetaraan gender, peningkatan motivasi perempuan dalam berpolitik dan meningkatkan keterwakilan perempuan.
3. Deposit Dana
Kewajiban menyimpan dana pada bank pemerintah. Ketentuan ini belum pernah diatur. Alasan untuk menjamin kredibilitas dan kesiapan partai. Selain itu partai diarahkan untuk mandiri dalam menjalankan visi dan misi serta tujuannya.
4. Tentang Badan Usaha
Penghapusan larangan pendirian badan usaha milik partai (BUMP). Alasannya kemandirian keuangan partai, untuk mengurangi ketergantungan kepada pemerintah.
RUU Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
1. Peradilan Umum
Dalam PN dibentuk majalis hukum ad hoc
2.Electoral Threshold
Penambahan syarat minimal dari 3 persen menjadi 5 persen
3. Hak Memilih
Usia 18 tahun dari sebelumnya 17 tahun
4. Jumlah Kursi dan Dapil
5. Dimungkinkan penambahan jumlah anggota DPR dari 550 mejadi 600 dan penambahan daerah pemilihan dari 69 menjadi 82.
6. Untuk DPRD Propinsi penentuan jumlah kursi tidak lagi berdasarkan dapil, tetapi DPRD sebagai perwakilan penduduk sekaligus perwakilan wilayah.
RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
1. Syarat-syarat calon
Syarat pendidikan minimal S1 (dikabarkan telah dihaus dalam draf akhir yang telah disempurnakan).
2. Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu
Pengadaan oleh Sekjen, tidak lagi oleh anggota KPU.
3. Dana Kampanye
Dugaan korupsi diatur oleh KPK.
RUU Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD
1. Pimpinan MPR
Bersifat ad hoc, tidak lagi bersifat permanen seperti sekarang. Kemudian dijabat bergantian secara bergantian oleh pimpinan DPR dan pimpinan DPD. Alasannya untuk penguatan sistem bikemeral efisiensi sistem politik nasional.
2. Pimpinan DPR
Penambahan Wakil Ketua dari tiga menjadi empat. Penentuan pimpinan parpol didasarkan atas perolehan kursi terbanyak di DPR. Dan diatur penarikan pimpinan DPR oleh parpol.
3. Ketua dan Wakil Ketua DPR diresmikan oleh Keputusan Presiden.
4. Hak DPD
Penambahan hak DPD untuk membahas RUU bidang tertentu bersama DPR dan pemerintah.
5. Pimpinan DPD
Ketua dan Wakil Ketua diresmikan dengan Keputusn Presiden.
6. Pimpinan DPRD Propinsi
Penentuan pimpinan DPRD didasarkan atas urutan perolehan kursi terbanyak.
7. Diatur penarikan pimpinan DPRD oleh parpol
8. Ketua dan Wakil diresmikan oleh Keputusan Mendagri atas nama Presiden

RUU Pemilu Disetujui
RUU Politik Segera Dibahas

Jakarta-Rapat paripurna DPR, Selasa (20/3) siang menyetujui Rancangan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu (RUU PP) untuk disahkan menjadi UU. Dengan disetujuinya RUU PP ini, pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru bisa segera dilakukan untuk mempersiapkan Pemilu 2009.
Naskah RUU PP yang terdiri 10 Bab, 133 pasal ini dibahas sejak akhir September 2006 bersama Mendagri Mohammad Ma’ruf yang mewakili pemerintah dan melibatkan berbagai pakar untuk memberi masukan.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU PP Syaifullah Mashum dari Fraksi Kebangkitan Bangsa kepada SH mengatakan, setelah RUU PP ini disetujui untuk diundangkan, sudah saatnya Pemerintah segera menyerahkan draf paket RUU bidang Politik yang terdiri atas RUU Partai Politik, RUU Pemilu Legislatif, RUU Pemilu Presiden, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan DPR/ DPD/MPR/DPRD.
“RUU PP ini saling terkait dengan RUU lainnya, terutama RUU Pemilu Legislatif dan RUU Pemilu Presiden. Kalau paket RUU Politik bisa segera dibahas, persiapan Pemilu 2009 akan lebih baik,” ujar Mashum.
Saat ini, Pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri masih menggodok paket RUU bidang politik ini dan intens mengadakan diskusi dengan berbagai kalangan untuk pembahasan draft akhir sebelum diserahkan ke DPR.
Syaifullah Mashum menyarankan Presiden segera menandatangani RUU yang telah disetujui DPR ini untuk diundangkan, sehingga Panitia Seleksi untuk memilih calon anggota KPU baru bisa segera dibentuk. Panitia seleksi paling tidak membutuhkan waktu tiga bulan sampai terbentuknya KPU baru.

Mandiri
Lebih lanjut dikemukakan Syaifullah Mashum, KPU baru nantinya tetap mandiri, independen, non-partisan, dan Sekjen KPU pun mandiri, tidak lagi bertanggung jawab kepada pemerintah, melainkan bertangung jawab langsung kepada KPU.
“Kemandirian KPU juga tercermin dari KPU-KPU di tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota. Kalau dulu KPU provinsi dan Kabupaten/Kota dibentuk atas usul gubernur dan DPRD, kali ini KPU Pusat yang membentuk KPU tingkat daerah,” ujar Mashum sambil menambahkan keuangan untuk KPU ini makin jelas, yakni APBN untuk tingkat pusat dan APBD untuk KPU daerah.
Mashum yang mantan wartawan ini menjelaskan anggota KPU mendatang juga tidak boleh mengajukan pengunduran diri atau nonaktif untuk kemudian meraih jabatan tertentu di lembaga pemerintah, BUMN, maupun BUMD. “Pasal ini untuk menegaskan bahwa tugas anggota KPU bukan sebagai tangga untuk mengejar jabatan lain di birokrasi dan diharapkan menghindari kolusi antara anggota KPU dengan pejabat tertentu,” ujar Mashum.
Dalam RUU ini juga ada keharusan bagi anggota KPU di tingkat Kabupaten/Kota hingga desa untuk melakukan pemutakhiran data pemilih mengingat soal data pemilih ini bisa menjadi pemicu konflik. “Nah, masalah ini kan juga harus detail masuk dalam UU Pemilu,” katanya. (suradi)


DPR Pastikan RUU Pemilu Disahkan 26 Februari


Sabtu, 23 Februari 2008
Jakarta - DPR RI memastikan bahwa revisi terhadap UU No.12/2003 tentang Pemilu akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 26 Pebruari 2008 dan tidak akan ditunda lagi.

"Sampai hari ini pembahasan sudah mencapai 95 persen dan semua fraksi optimis mampu menyelesaikan beberapa hal yang masih harus dibahas dalam forum lobi," kata Ketua Pansus RUU Pemilu DPR RI Ferry Mursyidan Baldan di Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat.

RUU revisi tersebut terdiri atas 320 pasal dan 23 bab. Menurut anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR RI itu, saat ini masih tersisa tiga hal yang masih dilakukan lobi antar fraksi, yaitu sisa suara, "threshold" (perolehan suara minimum) dan daerah pemilihan.

Pansus memiliki waktu hingga Senin (25/2) malam untuk menyelesaikan seluruh pasal. Dengan tuntasnya seluruh pembahasan RUU ini, maka diharapkan KPU akan bisa lebih baik mempersiapkan Pemilu 2009.

RUU ini juga mengatur sengketa hasil Pemilu yang harus dituntaskan melalui proses hukum dalam kurun waktu lima hari sebelum ditetapkan hasil Pemilu. Karena itu, harus dihindari terjadinya sengketa setelah hasil Pemilu ditetapkan.

RUU juga menetapkan bahwa setiap tiga calon legislatif (caleg) baik di DPR, DPRD maupun di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus terdapat satu caleg perempuan. Hal ini untuk mewujudkan keterwakilan jender.

Mengenai adanya sanksi bagi media massa terkait pemberitaan kampanye, Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Andi Yuliani Paris menjelaskan bahwa DPR bersama pemerintah sepakat menghapus adanya sanksi bagi media massa terkait berita-berita kampanye.

Terkait penyiaran hasil penghitungan cepat ("quick count"), Pansus RUU Pemilu menyatakan tidak melarang adanya pengumuman hasil perhitungan cepat. Hanya saja diatur bahwa penyiaran penghitungan cepat tidak dilakukan pada masa tenang.

Pengumuman hasil penghitungan suara bisa dilakukan pada hari berikutnya agar tidak mengganggu proses penghitungan yang dilakukan di TPS-TPS maupun di kecamatan yang biasanya terjadi hingga tengah malam. "Pengumuman hasil penghitungan suara baru bisa dilakukan setelah pukul 00.00 WIB," kata Anggota Fraksi PAN DPR RI itu.

Pengumuman hasil penghitungan suara di masa tenang akan mengganggu konsentrasi masyarakat menetapkan pilihannya pada saat pencoblosan. Masyarakat bisa menganggap seolah-olah hasil penghitungan cepat itu sebagai hasil sebenarnya. Begitu juga jika pengumuman dilakukan saat seluruh TPS dan kecamatan menyelesaikan proses penghitungan suara akan mengganggu konsentrasi.

Anggota Pansus RUU Pemilu Yasona Laoly mengemukakan, pengumuman hasil penghitungan suara setelah 24 jam dari hasil pencoblosan bukan sebagai bentuk apriori terhadap teknologi. Tetapi didasarkan pada sikap masyarakat yang belum siap. Berdasarkan pengalaman pada Pemilu lalu, hasil "quick count" diumumkan di saat sebagian TPS masih melakukan penghitungan.

"Ketika mendengar adanya pengumuman hasil `quick count`, konsentrasi masyarakat buyar," kata Anggota Fraksi PDIP DPR RI itu.

Sedangkan Taman Achda (Fraksi PPP) mengemukakan, jumlah pemilih akan bertambah dari sekitar 300 orang/TPS pada Pemilu 2004 menjadi hanya sekitar 500 pemilih pada Pemilu 2009. Dengan demikian, terjadi penghematan biaya untuk membuat TPS.

Penghematan juga terjadi pada jumlah kertas suara pada setiap TPS. Bila pada Pemilu 2004, jumlah cadangan kertas suara ditetapkan 2,5%, maka untuk Pemilu mendatang cadangan kertas suara hanya 2% dari total pemilih pada TPS yang bersangkutan.

RUU juga mengatur calon legislatif untuk DPD. Menurut Ferry, anggota DPD yang akan mencalonkan lagi harus mengikuti proses verifikasi berdasarkan hasil perolehan suara pada Pemilu 2004. Anggota DPD yang memperoleh suara antara 3-5 persen dari jumlah penduduk di daerah pemilihannya dipastikan dapat ikut kembali pada Pemilu 2009.

Namun Wakil Ketua DPD Laode Ida menganggap persyaratan itu tidak tepat diberlakukan bagi anggota DPD saat ini yang akan mencalonkan lagi. Persyaratan perolehan suara minimal 3 persen itu menyamakan persyaratan dengan partai politik.

Laode berpendapat, anggota DPD yang memperoleh suara minimal 3 persen tidak perlu lagi mengikuti proses verifikasi seperti halnya diterapkan bagi partai politik.



UU yang dipakai untuk pemilu 2009 adalah UU PEMILU No 10 tahun 2008

tugas kelompok UU PEMILU

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

UU PEMILU 2009

Dosen : Mawardi












Disusun oleh:
1. Arifin Eko 292007018
2. Astri Septianingrum 292007010
3. Anjarinie Yustiningrum 292007023
4. Deris Erna Sahani 292007017
5. Fita Nursela 292007007



SI PGSD KELAS A

SALATIGA

2008



RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perjalanan kehidupan politik Indonesia mengalami dinamika yang besar ketika diputuskan untuk melaksanakan pemilihan umum secara langsung. Meskipun baru pertama kali, ternyata kita berhasil menyukseskan penyelenggaraan tiga pemilihan umum berturut-turut pada tahun 2004. Pertama, dilaksanakan pada tanggal 5 April yang secara simultan memilih anggota DPR,DPD dan DPRD dari seluruh provinsi, kabupaten dan kota. Kedua, pada 5 Juli 2004, lima pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dinominasi oleh Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pemenang pemilu pada pemilihan umum legislatif tiga bulan sebelumnya berkompetisi pada putaran pertama pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemilu putaran pertama ini tidak menghasilkan suara yang mayoritas absolut sehingga diselenggarakan pemilu putaran kedua.

Pengalaman dalam pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada pemilu pertama tahun 1955 telah melahirkan keberhasilan sebagai babak baru dalam demokrasi secara nasional. Sekalipun demikian masih ada yang mempertanyakan apakah keberhasilan Pemilu itu sudah didukung oleh sistem pemilu dan aturan hukum cukup signifikan dalam memenuhi standar yang demokratis. Demikian pula halnya dengan keberhasilan tersebut dapatkah menjadi referensi bagi pengaturan ketentuan mengenai Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bagi penyempurnaan UU No. 23 Tahun 2003. Pengalaman Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan UU No. 23 Tahun 2003 telah memiliki legitimasi yang kuat, berkualitas dan dipilih melalui pemilu yang jujur, adil dan adil sesuai dengan semangat reformasi dan keinginan seluruh rakyat.

Pemilu 2004 dapat diklaim sebagai keinginan rakyat karena pemilihan dilakukan secara langsung merupakan sarana bagi rakyat memberikan suaranya langsung kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden sesuai dengan keinginannya. Demikian pula ruang kekuasaaan otoriter untuk menentukan kandidat presiden dan wakil presiden sudah diminimalisasi. Hal ini sejalan dengan semangat demokrasi one person one vote yang berarti suara mayoritas rakyat pemilihlah yang menentukan siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden. Hal lain yang perlu dicatat bahwa pemilihan langsung memungkinkan lahirnya kontrak politik antara pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih dengan rakyat pemilihnya. Secara konstitusional visi dan misi serta program pasangan calon dalam masa kampanye menjadi kewajiban pasangan calon Presiden dan Wakil presiden untuk diwujudkan dalam masa jabatannya.

Pemilu Presiden dan Wakiol Presidien merupakan pekerjaan besar dan kompleks. Tidak saja karena jumlah penduduk mecapai 215 juta jiwa dan jumlah pemilih mencapai 150 juta, tetapi juga penyebarannya yang luas dengan kondisi geografis yang berbeda-beda, sehingga penanganannya pun membutuhkan sumber daya dan sumber dana besar yang harus ditopang oleh kinerja yang profesional, akuntabel dan transparan. Pengalaman tersebut di atas mendorong perlunya penyempurnaan UU No. 23 Tahun 2003 untuk meminimalisasi kekurangan yang belum diatur dan untuk menampung aspirasi yang signifikan dari masyarakat luas dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden guna pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 yang lebih efektif dan efisien.

B. Maksud dan tujuan
1. Maksud
Pembentukan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dimaksudkan untuk melakukan penyempurnaan atas UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya penyempurnaan atas berbagai materi pengaturan yang terkait dengan pelaksanaan Pemilu, peserta pemilu, pendaftaran pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pencalonan, kampanye, prinsip umum pemungutan suara, penghitungan suara, pemantauan pemilu, dan penyelesaian sengketa pemilu.

2. Tujuan
Tujuan pembentukan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah terbentuknya undang-undang sebagai landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemimpin penyelenggaraan pemerintahan nasional, dalam rangka mewujudkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

C. Landasan Penyempurnaan

1. Landasan Filosofis
Di dlam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diamanatkan bahwa Presiden dan Wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat dalam perwujudannya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Amanat konstitusional tersebut sekaligus memberi arah bagi penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden didasarkan atas pemikiran bahwa penyelenggaraan Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan bagian dari proses demokratisasi (kembali) kehidupan politik harus diorientasikan kepada 2 (dua) hal mendasar. Pertama, adalah bagaimana membangun proses pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang dapat terselenggara dengan aman dan tertib dan dapat menampung dan mewujudkan harapan dan keinginan seluruh rakyat untuk ikut serta dan berpartisipasi dalam proses penyelenggaraannya sehingga akan dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama. Kedua, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dapat menghasilkan pasangan Presiden dan dan Wakil Presiden yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai Kepala Pemerintahan, sehingga harapan seluruh rakyat untuk memiliki pemimpin yang akan mampu menyelenggarakan Pemerintahan Negara dengan sebaik-baiknya. Pemerintahan negara yang menjadi harapan rakyat tersebut dapat mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Kedua hal tersebut akan dapat dicapai dengan baik jika semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden selalu dapat memahami dan menghayati nilai-nilai kebangsaan dalam memberikan dasar bagi penyempurnaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.


2. Landasan Sosiologis

Orientasi pemikiran sosiologis antara lain menunjukkan adanya perkembangan dinamika masyarakat, dan kecenderungan penilaiannya terhadap pengalaman empiris pada pemilu sebelumnya. Suasana reformasi dimana masyarakat menghendaki perbaikan-perbaikan di bidang politik tak terkecuali perbaikan di bidang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal-hal yang diinginkan diantaranya seperti perlunya transparansi dalam pengelolaan dana kampanye baik dalam penerimaan, pengeluaran, serta pelaporan secara akauntabel, transparansi dalam proses pendafataran pemilih dan penghitungan suara yang harus dilakukan secara tertib mulai tingkat kelurahan atau desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, maupun pada tingkat nasional.

Dinamika masyarakat juga menghendaki adanya calon yang aspiratif, memiliki kompetensi kepemimpinan nasional dan berkualitas. Spesifikasi calon Presiden dan Wakil Presiden yang demikian merupakan harapan pemilih. Harapn demikian sesuai dengan kecenderungan masyarakat. Mengingat Presiden dan Wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung, tentu rakyat memiliki legitimasi yang langsung pula terhadap kapasitas kepemimpinan pasangan calon terpilih sehingga hak legitimasinya harus mendapat perhatian secara proporsional bahkan sejak awal ketika penyelenggaraan pemilu dimulai.

3. Landasan Yuridis
Sistem Pemilihan Umum yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang telah melahirkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden memiliki arah, substansi, serta sinergi dengan undang-undang lainnya. Perkembangan dalam pembangunan politik berdasarkan pengalaman Pemilu 2004 perlu mendapat perhatian. Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 akan memberi arah lebih lanjut bagi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyelenggaraan Pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden mempunyai kaitan yuridis dengan undang-undang lain. Undang-undang yang berkaitan langsung dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus menjadi dasar yuridis bagi penyempurnaannya. Di dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terdapat peran utama yang melibatkan partai politik peserta pemilu. Oleh karena itu undang-undang yang mengatur tentang partai politik harus menjadi dasar juga bagi penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Demikian pula hal dengan undang-undang yang mengatur pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD dan bahkan undang-undang yang mengatur mengenai susunan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Demikian pula halnya dengan telah lahirnya undang-undang yang mengatur penyelenggara Pemilu akan menambah dasar yuridis penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

D. Metode
Pembentukan UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan metode kerja sebagai berikut:
a. Evaluasi atas pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
b. Pengkajian terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 yang dinilai mengandung kelemahan dan/atau bermasalah;
c. Pengkajian terhadap konsep teoritis tentang pemilihan umum presdien dan wakil persdien yang ideal;
d. Penyesuaian dengan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu; dan
e. Analisis komprehensif dan penyusunan konsep pengaturan yang baru.

E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penelusuran dan pemahaman tentang penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003, naskah akademik ini disusun sebagai berikut:
Bab I memuat Pendahuluan yang berisi latar belakang perlunya dibuat rancangan Undang-undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, maksud dan tujuan pembentukan Undang-Undang, landasan penyempurnaan, metode, dan sistematika penulisan.
Bab II memuat Arah dan Tujuan Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Di dalamnya dimuat mengenai arah dan tujuan menuju sistem Pemilu yang demokratis, sistem pemerintahan yang efektif, pemikiran bagi terbangunnya sistem pemerintahan presidensial yang efektif; dan hubungan penataan sistem politik demokratis dengan sistem pemerintahan efektif.
Bab III memuat Problematika Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yang di dalamnya memuat materi mengenai penyelenggara, hak memilih, pendaftaran pemilih, persyaratan calon, kampanye, pengadaan perlengkapan, pemungutan suara, penghitungan suara, calon berhalangan tetap, pengawasan, pemantauan, penyelesaian sengketa, dan sanksi pidana.
Bab IV memuat Materi Rancangan Undang-Undang, yang di dalamnnya dimuat Ketentuan Umum, Asas dan Pelaksanaan, Lembaga Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Hak Memilih, Penyusunan Daftar Pemilih, Pencalonan, Kampanye, Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu, Pemungutan Suara, Penghitungan Suara, Penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Pelantikan, Pemungutan Suara Ulang dan Penghitungan Suara Ulang, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Lanjutan dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Susulan, Pengawasan, Pemantauan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Penyelesaian Perselisihan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Ketentuan Pidana, dan Ketentuan Peralihan.
Bab V memuat Penutup, yang di dalamnya berisi uraian penutup dari seluruh rangkaian penjelasan dalam naskah akademik mengenai perlunya penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden .

BAB II
ARAH DAN TUJUAN PENYEMPURNAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


A. Menuju Sistem Pemilu yang Demokratis

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 telah mengantarkan seluruh rakyat Indonesia berpartisipasi dalam menentukan pilihan secara langsung dalam rangka menentukan pemimpin pilihannya. Sistem pemilihan langsung tersebut di atas telah memberikan tempat yang luas bagi tumbuhnya sistem perpolitikan nasional pada satu segi, dan pada segi lain presiden terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat. Karena itu Presiden terpilih berada diatas segala kepentingan dan dapat menjembani berbagai kepentingan tersebut.

Ada mekanisme kontrol dari rakyat dalam rangka penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ketika pasangan Presiden dan Wakil Presiden terlpilih selama masa pemerintahannya, sehingga Presiden dan Wakil presiden terpilih mempunyai beban konstitusional dalam memenuhi janji-janji, visi dan misi serta program yang disampaikan dalam masa kampanye, karena yang demikian adalah juga merupakan harapan rakyat. Hubungan senergis antara pasangan Presiden dan Wakil Presiden dan rakyat pemilih yang dijembatani oleh pemenuhan janji-janji, visi dan misi serta program yang disampaikan dalam masa kampanye, memberi gambaran telah terwujudnya nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden .

Demikian pula sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung melahirkan check and balance antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang lebih seimbang karena kedua lembaga ini sama kuatnya, tidak ada satu lembaga yang dapat membubarkan lembaga lainnya. Sehingga dalam pengambilan kebijakan, masing-masing lembaga dapat saling bersinergi untuk menghasilkan keputusan yang terbaik bagi rakyat sebagai konstituennya.


B. Menuju Sistem Pemerintahan yang Efektif

Pengertian pemerintahan yang efektif adalah suatu proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik oleh lembaga-lembaga publik yang selaras dengan aspirasi dan keinginan rakyat berdasarkan tata perundangan yang berlaku. Sedangkan pengertian sistem pemerintahan yang efektif adalah suatu pola hubungan antara berbagai lembaga-lembaga publik dalam rangka pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik dengan dasar-dasar prinsip tertentu untuk menterjemahkan aspirasi dan keinginan rakyat.
Pentingnya suatu sistem pemerintahan yang efektif, paling tidak bersumber pada 3 (tiga) alasan utama. Pertama, dengan adanya pemerintahan yang efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih responsif. Pemerintah akan berusaha menerjemahkan keinginan rakyat menjadi kebijakan publik. Kedua, pemerintahan yang efektif akan membuat aktivitas pemerintahan lebih bisa didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun masyarakat. Energi ini akan membuat pencapaian aktivitas pemerintah meluas oleh karena partisipasi masyarakat dan kekuatan politik dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan umum seperti memberikan pelayanan umum, mengatur konflik, maupun pembagian sumber-sumber ekonomi. Dan ketiga, pemerintahan yang efektif akan memungkinkan berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang.

Untuk mendukung tercapainya sistem pemerintahan yang efektif, maka perlu suatu upaya serius untuk menguatkan berbagai elemen sistem pemerintahan bagi kebijakan publik yang aspiratif dan responsif.
Argumen teoritik pilihan terhadap sistem presidensialisme adalah: pertama, presiden adalah satu-satunya pejabat publik yang dipilih untuk mewakili seluruh rakyat dan wilayah negara. Dengan demikian presiden memiliki mandat yang kuat untuk melaksanakan kehendak rakyat dan wilayah. Asumsinya, dengan mandat yang demikian maka lembaga ini memiliki dasar untuk melaksanakan suatu pemerintahan yang efektif. Kedua, dalam banyak kasus, presiden biasanya dipilih langsung oleh rakyat dalam jangka waktu yang pasti. Dipilih langsung akan membuat kedudukannya tidak tergantung pada dinamika lembaga lain. Hubungan ini memungkinkan stabilitas kelembagaan yang akan berimplikasi kemungkinan tercapainya pemerintahan yang efektif. Ketiga, presiden terpilih memungkinkan untuk melaksanakan kebijakan nasional secara terencana dan responsif, dan efektif.
Efektivitas fungsi pemerintahan menghendaki lembaga kepresidenan didukung oleh bekerjanya suatu sistem perwakilan yang efektif. Hubungan antara lembaga kepresidenan dan sistem perwakilan yang berimbang akan meletakan fondasi check and balances yang efektif. Secara umum dapat dikatakan bahwa penguatan sistem pemerintahan presidensial membutuhkan penguatan lembaga kepresidenan, penguatan lembaga perwakilan, serta perimbangan hubungan kelembagaan antara presiden dan legislatif.

C. Pemikiran bagi Sistem Pemerintahan Presidensial yang Efektif

Sistem multipartai dan sistem presidensial merupakan dua sistem yang sulit digabungkan. Hal ini setidaknya telah dibuktikan pada 31 negara yang masuk kategori demokrasi yang stabil. Setidaknya ada tiga alasan mengapa kombinasi ini menimbulkan permasalahan. Tidak adanya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mayoritas mutlak dalam legislatif ditambah dengan pembagian kekuasaan menimbulkan deadlock antara eksekutif dan legislatif. Dibandingkan dengan sistem dua partai, sistem multipartai lebih banyak menimbulkan polarisasi ideologi, serta koalisi antar partai akan lebih sulit untuk dibangun dan dipelihara pada sistem presidensial dibandingkan dalam sistem parlementer.Untuk dapat tercapainya suatu sistem pemerintahan yang efektif, maka perlu pemikiran yang serius untuk menyelesaikan hambatan-hambatan yang mungkin timbul dari persoalan personalisasi lembaga kepresidenan, koalisi yang memerintah, serta hubungan kelembagaan.

Untuk menjawab pesimisme tersebut maka hal-hal yang berkaitan dengan problema kecendrungan personalisasi lembaga kepresidenan, perlu dibuatkan pengaturan kelembagaan detail yang memungkinkan munculnya lembaga kepresidenan yang kuat. Beberapa hal yang mestinya melekat pada konseptualisasinya, seperti refleksi konseptual, substansi, filosofi, serta kewenangan dari presiden. Shugart and Carey sebagai contoh menguraikan dimensi kewenangan presiden:


We identify two basic dimensions of presidential power: one concerning power over legislation, the other encompassing non-legislative powers…The first set of aspects entail legislative powers constitutionally granted to the president. These aspects are the veto, the partial veto/override, presidential authority to legislate by decree, exclusive right to initiate certain legislative proposals, budgetary initiative, and power to propose referenda. Aspects of presidential power apart from the legislative domain include cabinet formation, cabinet dismissal ….

(Kami mengidentifikasi dua dimensi dasar dari kekuasaan presiden: kewenangan tentang legislasi, dan yang lain adalah kewenangan non-legislasi. Aspek pertama yang berkaitan dengan kewenangan legislasi yang dijamin konstitusi kepada presiden. Aspek-aspek tersebut adalah hak veto, hak veto bagian, mengeluarkan dekrit presiden, membuat usulan undang-undang, hak budget, dan membuat usulan referendum. Aspek yang merupakan kekuasan presiden tetapi terlepas dari domain legislatif termasuk pembentukan kabinet, pemberhentian anggota kabinet...)

Hal ini tidak terlepas dari pesan historik yang tertuang dalam konstitusi maupun aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Kedua, adalah adanya suatu sistem pemilihan lembaga kepresidenan yang sesuai dengan paparan yang di atas. Sebagai contoh kalau hendak memilih presiden yang mewakili segenap rakyat dan teritori seluruh Indonesia, maka harus dibuat mekanisme yang memungkinkan persyaratan itu dipenuhi. Dalam teori, sistem dua putaran lebih memungkinkan munculnya calon yang demikian. Oleh karena persyaratan suara mayoritas absolut dan wilayah bisa dilekatkan pada putaran pertama dan persyaratan suara terbanyak bisa dilekatkan pada putaran kedua. Ketiga adalah perlu dikaji peran dan fungsi berbagai elemen penunjang lembaga kepresidenan serta pembentukan struktur kelembagaan penunjang berdasarkan fungsi tersebut. Perlu juga dibuatkan pengaturan peran, lingkup aktivitas, serta hubungan elemen-elemen tersebut secara keseluruhan. Semuanya ditujukan untuk tercapainya sistem pemerintahan yang efektif.

Persoalan gabungan partai politik pendukung Presiden dan Wakil presiden terpilih sebagaimana telah diarahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, secara teoretik mestinya dilanjutkan dengan formalisasi koalisi antara partai politik atau gabungan partai politik. Formalisme koalisi tersebut yang memiliki kader yang duduk dalam kabinet Presiden dan Wakil presiden terpilih. Koalisi ini diharapkan akan mencegah polarisasi dan fragmentasi berlebihan antara berbagai kekuatan yang ada. Koalisi yang demikian memberikan dukungan riil bagi penyelenggaraan pemerintahan secara lebih efektif dalam masa jabatan Presiden dan Wakil presiden Bagi munculnya sebuah koalisi yang berarti maka faktor kepemimpinan dalam partai dan kedisiplinan partai menjadi kunci. Karenanya adalah sesuatu yang mendesak untuk memperhatikan keterkaitan dan kalau perlu keberlanjutan koalisi antar partai sebelum dan setelah pemilihan presiden.

D. Hubungan Sistem Kepartaian dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan Sistem Presidensial.

Beberapa literatur menunjukkan adanya hubungan yang relatif konsisten antara sistem kepartaian dalam kaitannya dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama koalisi yang mengantarkan presiden untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan untuk menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya. Alasan lain adalah bahwa komitmen anggota Dewan terhadap kesepakatan yang dibuat pimpinan partai jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain tidak adanya disiplin partai membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti. Perubahan dukungan dari pimpinan partai sangat juga ditentukan oleh perubahan kontekstual dari konstelasi politik yang ada.

Tawaran yang diberikan untuk memperkuat presidensial dengan membuatnya mampu memerintah adalah dengan menyederhanakan jumlah partai. Jumlah partai yang lebih sederhana (efektif) akan mempersedikit jumlah veto point dan biaya transaksi politik. Perdebatan yang terjadi diharapkan menjadi lebih fokus dan berkualitas. Publik juga akan mudah diinformasikan baik tentang keberadaan konstelasi politik maupun pilihan kebijakan bila jumlah kekuatan politik lebih sederhana.

Sistem kepartaian mempunyai hubungan sinergik dengan sistem Pemilu yang sekaligus menunjukan dianutnya tipe pemilihan umum plural majority dan akan menghasilkan jumlah partai yang lebih sedikit. Selain itu ada pula tipe pemilihan umum sistem representasi proporsional yang akan melahirkan sistem multi partai. Untuk dapat menghasilkan tipe sistem kepartaian sederhana, maka perlu pengkondisian dalam proses pemilu. Untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya biasanya diberikan syarat minimal suara atau electoral threshold.


BAB III
PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2003
TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara umum telah mengatur berbagai ketentuan yang diperlukan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Namun demikian, pengamatan yang didasarkan pada perkembangan dinamika politik dan kemasyarakatan, evaluasi terhadap pengalaman penyelenggaraan Pemilihan Umum pada waktu sebelumnya, menimbulkan adanya berbagai aspirasi untuk melakukan beberapa perbaikan/penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tersebut.
Berdasarkan evaluasi terhadap pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yang banyak mendapat perhatian masyarakat adalah problematika mengenai: penyelenggara, hak memilih, pendaftaran pemilih, persyaratan calon, kampanye, pengadaan perlengkapan, pemungutan suara, penghitungan suara, calon berhalangan tetap, pengawasan, pemantauan, penyelesaian sengketa, dan sanksi pidana.
Hal-hal yang mendapat perhatian masyarakat tersebut di atas secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penyelenggara
Dengan telah dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, maka semua ketentuan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berkait dengan Undang-undang tersebut di atas perlu dilakukan penyesuaian dan penyempurnaan. Hal ini perlu dilakukan mengingat rancangan undang-undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu rangkaian pengaturan dalam bidang politik.
2. Hak Memilih
Ada berbagai pandangan yang berkembang menyangkut hak memilih bagi anggota TNI dan anggota POLRI dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sementara pandangan, dengan mendasarkan pada ketentuan tentang Hak Asasi Manusia menginginkan agar kepada anggota TNI dan anggota POLRI diberikan sebagaimana halnya anggota masyarakat lainnya. Pada sisi yang lain, anggota TNI dan anggota POLRI yang memiliki tugas pokok dan fungsi antara lain menjaga keutuhan NKRI serta melindungi keamanan masyarakat perlu dipertimbangkan kembali agar anggota TNI dan anggota POLRI tidak menggunakan hak memilihnya. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut secara mendalam lebih lanjut dalam kaitannya dengan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden .
3. Pendaftaran Pemilih
Dari pengalaman penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya, banyak terjadi kasus dimana masyarakat yang memiliki hak memilih dirugikan sebagai akibat kekurang tertiban dalam proses pendaftaran pemilih. Hal itu dapat terjadi karena mekanisme pendaftaran, kelalaian petugas, dan juga kelalaian pemilih yang bersangkutan. Belajar dari pengalaman tersebut penyusunan daftar pemilih perlu mendapat perhatian sehingga berbagai kelemahan pada masa yang lalu dapat diperbaiki secukupnya. Oleh karena itu direkomendasikan oleh naskah akademik agar hal tersebut diamasukkan menjadi ketentuan dalam undang-undang penyempurnaan.


4. Persyaratan Calon
Pencalonan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, merupakan aspek yang sangat penting mengingat calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih nantinya akan menjadi kepala pemerintahan selama 5 tahun ke depan. Selain syarat-syarat yang sudah ditentukan sebagai bakal calon perlu dilakukan verifikasi yang intensif terhadap dokumen-dokumen persyaratan yang harus diserahkan oleh setiap pasangan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. Salah satu hal yang penting adalah melakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan digunakannya ijazah palsu dalam proses pencalonan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

5. Kampanye
Dalam pelaksanaan kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden banyak dijumpai berbagai kasus yang merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan kajian, kasus-kasus tersebut berkaitan dengan rentang waktu kampanye yang dianggap tidak cukup sehingga pelaksana kampanye cenderung melakukan curi start atau melakukan kampanye di luar jadwal yang ditetapkan. Selain itu, juga terjadi kasus dimana pihak-pihak yang seharusnya dilarang dilibatkan dalam kampanye, tetapi diikutsertakan dalam kampanye. Selanjutnya juga, materi kampanye pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden belum mencantumkan materi-materi yang bersifat mendasar seperti Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian juga persepsi masyarakat yang masih menganggap belum adanya transparansi dan pertanggungjawaban dalam pengelolaan dana kampanye. Hal-hal tersebut perlu dipikirkan untuk penyempurnaan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengingat hal tersebut dipandang masih belum memadai.

6. Pengadaan Perlengkapan
Dalam hal perlengkapan penyelenggaraan Pemilu, banyak pandangan yang menyatakan bahwa tanggung jawab pengadaannya seyogyanya tidak menjadi kewenangan KPU sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut dapat mengganggu konsentrasi para anggota KPU untuk menjalankan kewenangan, tugas pokok dan fungsinya yang bersifat lebih mendasar. Masalah tersebut dapat dipecahkan dengan kemungkinan melimpahkan pelaksanaan pengadaan perlengkapan penyelenggaraan pemilu dari anggota KPU kepada Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum. Dengan demikian tanggungjawab penyelenggaraan pemilu dapat lebih dibagi secara proporsional, mendasar dan dapat lebih meningkatkan tertib administrasi pengadaan barang dan jasa khususnya dalam rangka pengadaan perlengkapan penyelenggaraan pemilu.

7. Pemungutan Suara
Berdasarkan hasil pengamatan oleh berbagai kalangan dalam pelaksanaan pemungutan suara di TPS pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, bahwa dari segi jumlah pemilih pada setiap TPS dipandang kurang efisien oleh karena sebelum batas waktu berakhirnya pemungutan suara, proses pelaksanaan pemungutan suara sudah selesai sebelum batas waktu yang ditentukan, tentunya hal ini kurang efisien. Atas dasar hal tersebut maka jumlah pemilih pada setiap TPS perlu penambahan yang signifikan. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan efisiensi Namun tetap berpegang pada azas penyelenggaraan pemilu maka ketentuan mengenai pemungutan suara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan, utamanya penambahan jumlah pemilih di setiap TPS.

8. Penghitungan Suara

Dari pengalaman Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, khususnya dalam proses penghitungan suara banyak ditemukan protes atau komplain bahkan adanya gugatan terhadap hasil penghitungan suara oleh masyarakat, saksi-saksi dari partai politik, dan pasangan calon. Hal ini dapat terjadi oleh karena berbagai kemungkinan seperti mekanisme penghitungan suara yang kurang memadai, kelalaian petugas penghitungan suara pada berbagai tingkatan proses penghitungan suara. Ketidak tepatan dalam penghitungan suara dapat menyebabkan kemungkinan ketidak absahan penetapan hasil pemilu. Oleh karena itu perlu dipikirkan upaya-upaya perbaikan terhadap ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan proses penghitungan suara.

9. Calon Berhalangan Tetap

Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur ketentuan tentang pelantikan dinilai masih kurang memadai. Hal tersebut terutama yang berkaitan dengan belum diaturnya kemungkinan-kemungkinan jika pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan. Dalam hal tersebut perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan-ketentuan dimaksud sehingga kemungkinan terjadinya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih berhalangan tetap, dapat diantisipasi sedini mungkin.

10. Pengawasan
Berdasarkan pengalaman atas penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya, banyak terjadi kasus yang dilaporkan kepada lembaga pengawas pemilu, namun demikian, pada berbagai evaluasi dan pandangan masyarakat ternyata banyak kasus tidak dapat ditindak lanjuti dan diselesaikan secara memadai sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu perlu diupayakan agar lembaga pengawasan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditingkatkan peran dan fungsinya sehingga dapat melakukan pengawasan yang lebih efektif dengan dituangkan dalam ketentuan undang-undang.

11. Pemantauan
Pemantauan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Hal ini disebabkan oleh karena pemantauan selain dapat membantu perbaikan citra pelaksanaan Pemilu, juga melibatkan banyak pihak baik dari dalam maupun dari luar negeri. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai Pemantauan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden masih dipandang sangat minim dan baru diatur secara umum dalam dua pasal. Perlu dipikirkan upaya-upaya untuk mengatur hal pemantauan Pemilu tersebut secara memadai sehingga semua pihak yang terlibat di dalam proses pemantauan dapat memahami hak dan kewajibannya sehingga dapat memberikan kontribusi yang sebaik-baiknya terhadap penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

12. Penyelesaian Sengketa

Berdasarkan pengalaman dalam penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya, banyak terjadi kasus yang dilaporkan kepada lembaga pengawas pemilu, namun demikian, pada bebagai evaluasi dan pandangan masyarakat ternyata banyak kasus tidak dapat ditindak lanjuti dan diselesaikan secara memadai dalam waktu yang cepat sesuai dengan harapan masyarakat. Bahkan banyak diantarannya tidak ditindaklanjuti. Untuk itu perlu diupayakan agar ada perbaikan supaya kasus-kasus sengketa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diselesaikan secara lebih tertib dalam waktu yang cepat melalui pengadilan dalam waktu yang dibatasi oleh undang-undang.

13. Sanksi Pidana

Ketertiban dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, salah satunya sangat dipengaruhi oleh kepatuhan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Kepatuhan dapat terwujud apabila ada ketentuan sebagai alat memaksa yang mengatur sanksi apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam setiap tahapan Pemilu. Sanksi-sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dipandang masih ringan sehingga perlu diatur ketentuan pemberatan sanksi pidana sesuai dengan perkembangan saat ini.


BAB IV
MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG


A. Materi Penyempurnaan

Rincian rencana penyempurnaan yang dilakukan di berbagai ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan Umum.

Rincian rencana penyempurnaan yang harus dilakukan dan akan menjadi materi muatan dalam batang tubuh RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden mengandung banyak hal yang baru. Hal baru yang menjadi muatan materi penyempurnaan adalah seperti persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden, penyusunan daftar pemilih, verifikasi pasangan bakal calon, masa kampanye, materi kampanye, larangan dalam kampanye, dana kampanye, pengadaan dan distribusi perlengkapan Pemilu, ketentuan tentang calon Presiden terpilih yang berhalangan tetap sebelum pelantikan, pengawasan, penyelesaian perselisihan Pemilu dan ketentuan pidana.

Dalam ketentuan umum tidak banyak perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya dilakukan beberapa penyesuaian dengan Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilu, RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

2. Asas, Pelaksanaan, Lembaga Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

2.1. Asas dan Pelaksanaan

Kententuan mengenai asas di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak harus diadakan perubahan karena rumusan asas tersebut sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian pula halnya dengan ketentuan mengenai pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden , yang tidak mengalami perubahan rumusan karena sudah sesuai dan dapat dilaksanakan sebagaimana yang telah menjadi pengalaman konstitusional yang lalu.

2.2. Lembaga Penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Sehubungan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sepanjang mengenai lembaga penyelenggara Pemilu telah dilakukan perubahan mendasar. Perubahan tersebut adalah dengan dibentuknya undang-undang tersendiri mengenai lembaga penyelenggara Pemilu, sehingga semua ketentuan tersebut di atas dipindahkan menjadi rumusan di dalam undang-undang mengenai lembaga penyelenggara Pemilu. Oleh karena itu di dalam RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya diatur dalam satu pasal saja mengenai keberadaan KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, pengawas lapangan dan Panwaslu Luar Negeri.

3. Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Ketentuan mengenai Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu diadakan penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut mengenai persyaratan calon Presiden dan Wakil presiden terutama tentang penambahan syarat bahwa calon tidak pernah dihukum penjara karena korupsi dan/atau melanggar Ham berat serta penghapusan syarat calon tidak pernah dijatuhi pidana penjara yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

4. Hak Memilih

Kententuan mengenai hak memilih di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak harus diadakan perubahan karena rumusan hak memilih tersebut sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Penyusunan Daftar Pemilih

Ketentuan mengenai penyusunan daftar pemilih dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu diadakan penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan harus memerinci hal-hal penting yang berkaitan dengan pemutakhiran data, daftar pemilih sementara, daftar pemilih tetap, daftar pemilih perubahan, rekapitulasi pemilih dan penerbitan kartu pemilih. Pemutakhiran data ini dilakukan sehubungan dengan lahirnya Undang-Undang tentang Adminsitrasi Kependudukan, hal tersebut harus dilakukan guna meningkatkan akurasi data dan terjamin hak-hak pemilih. Hal tersebut direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar dimasukan menjadi ketentuan hukum dalam RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

6. Pencalonan

Ketentuan mengenai Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan terutama untuk menghindari adanya penggunaan dokumen palsu. Berkaitan dengan hal ini pengaturan mengenai dokumen palsu harus dipertegas dalam RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lolosnya pasangan calon yang mungkin menggunakan dokumen palsu. Oleh karena itu direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar hal tersebut di atas dimasukkan dalam ketentuan RUU ini.

7. Kampanye

Ketentuan mengenai kampanye dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan untuk menghindari adanya pelanggaran kampanye oleh pasangan calon atau tim kampanye terutama dalam mencuri start kampanye (waktu kampanye). Selain itu harus ada penegasan penyempurnaan materi kampanye dengan mewajibkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk dimasukkan menjadi bagian pokok materi kampanye. Demikian pula halnya mengenai ketentuan dana kampanye terutama berkaitan dengan rekening khusus, kewajiban pelaporan, pencatatan penerimaan dan penggunaan sumbangan, dan audit dana kampanye. Berkaitan dengan hal ini pengaturan mengenai kampanye harus dipertegas dalam RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Oleh karena itu perlu direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar hal tersebut di atas dimasukkan dalam ketentuan RUU ini.

8. Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu

Setelah dilakukan pengkajian mengenai ketentuan yang mengatur Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan untuk membangun tertib administrasi pengadaan Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu. Sehubungan dengan hal tersebut harus ada penegasan tanggungjawab pengadaan Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu. Berkaitan dengan hal ini pengaturan mengenai pengadaan Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu harus dipertegas menjadi tanggungjawab Sekretaris Jenderal. Hal tersebut perlu direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar hal tersebut di atas dimasukkan dalam ketentuan RUU ini.

9. Pemungutan Suara

Ketentuan mengenai pemungutan suara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan untuk meningkatkan efisiensi dengan tetap berpegang teguh pada maksud dan esensi diselenggarakan Pemilu. Berkaitan dengan hal ini pengaturan mengenai pemungutan suara harus dipertegas dalam RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan meningkatkan jumlah pemilih dalam setiap TPS. Oleh karena itu perlu direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar hal tersebut di atas dimasukkan dalam ketentuan RUU ini.

10. Penghitungan Suara

Sehubungan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sepanjang mengenai lembaga penyelenggara Pemilu telah dilakukan perubahan mendasar, maka penghitungan suara dalam RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus menyesuaikan dengan Undang-Undang yang mengatur Penyelenggara Pemilu. Esensi dari penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terletak pada mekanisme penghitungan suara. Dari pengalaman Pemilu Preiden dan Wakil Presiden yang lalu, harus dirubah mekanismenya dari PPS menjadi KPPS. Mekanisme tersebut dirubah dengan maksud untuk menghindari adanya kemungkinan kecurangan dalam penghitungan suara di PPS.

11. Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Setelah dilakukan pengkajian yang mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terutama mengenai Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diperbandingkan dengan pengalaman Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, hal ini dipandang masih relevan. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan perubahan dan diadop dalam RUU.

12. Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih
Setelah dilakukan pengkajian yang mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terutama mengenai Penetapan pasangan calon Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terpilih diperbandingkan dengan pengalaman Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, hal ini dipandang masih relevan. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan perubahan dan diadop dalam RUU.

13. Pelantikan
Ketentuan mengenai pelantikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan. Dengan demikian perlu ada penegasan penyempurnaan materi dengan mengatur ketentuan yang merespons kemungkinan terjadi. Kemungkinan tersebut seperti calon Presiden terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan, calon Wakil Presiden terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih kedua-duanya berhalangan tetap. Berkaitan dengan hal ini pengaturan mengenai pelantikan harus dipertegas dan dirinci dalam RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu perlu direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar hal tersebut di atas dimasukkan dalam ketentuan RUU ini.
14. Pemungutan Suara Ulang dan Penghitungan Suara Ulang
Setelah dilakukan pengkajian yang mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terutama mengenai Pemungutan Suara Ulang dan Penghitungan Suara Ulang, diperbandingkan dengan pengalaman Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, hal ini dipandang masih relevan. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan perubahan dan diadop dalam RUU.
15. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Lanjutan, dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Susulan
Setelah dilakukan pengkajian yang mendalam terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terutama mengenai Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Lanjutan, dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Susulan diperbandingkan dengan pengalaman Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu, hal ini dipandang masih relevan. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan perubahan dan diadop dalam RUU.
16. Pengawasan
Ketentuan mengenai pengawasan, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan penyempurnaan dan penegasan meningkatkan efektivitas pengawasan pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian perlu ada penegasan penyempurnaan materi dengan mengatur ketentuan pengawasan dalam porsi yang lebih besar atau dalam Bab tersendiri. Berkaitan dengan hal ini pengaturan mengenai pengawasan harus dipertegas dan dirinci dalam RUU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Oleh karena itu perlu direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar hal tersebut di atas dimasukkan dalam ketentuan RUU ini.
17. Pemantauan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Ketentuan mengenai Pemantauan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu diadakan penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan harus memerinci hal-hal penting yang berkaitan dengan jenis pemantau, persyaratan dan tata cara, wilayah kerja, tanda pengenal, hak dan kewajiban, larangan, sanksi, pelaksanaan, pelaporan dan fasilitasi. Hal tersebut direkomendasikan oleh naskah akademik ini agar dimasukkan menjadi ketentuan dalam RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
18. Penyelesaian Perselisihan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Dalam upaya mengantisipasi adanya perkara perselisihan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diselesaikan melalui pengadilan negeri, pengadilan tata usaha negara, pengadilan tinggi, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, perlu dibentuk majelis hakim ad hoc dengan tujuan Majelis Hakim selalu tersedia. Jumlah majelis hakim ad hoc baik penunjukan sebagai anggota majelis hakim ad hoc, pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding maupun penempatan ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
Guna mempercepat penyelesaian perkara perselisiahan hasil Pemilu perlu diatur juga dalam undang-undang ini, di dalam penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu dibatasi waktunya dan memastikan batas waktunya seperti rumusan Mahkamah Konstitusi berwenang menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan mengenai hasil pemilihan umum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, paling lambat 14 (empat belas) hari sejak permohonan didaftarkan pada kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Mengantisipasi kemungkinan tindak pidana Pemilu, penyidikan terhadap tindak pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam undang-undang ini dilakukan oleh penyidik kepolisian sesuai dengan perundang-undangan, dan jika ada pengecualian, perlu diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Untuk mempercepat proses penyidikan dilakukan dan diserahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak diterimanya laporan atau tertangkap tangan oleh penyidik. Jangka waktu ini dimaksudkan agar tidak berlama-lama dalam proses penyidikan. Demikian pula untuk memenuhi petunjuk jaksa penuntut umum apabila berkas perkara belum dinyatakan lengkap, tenggang waktu tersebut sudah harus termasuk jangka waktu penyidik melakukan penyidikan tambahan. Dalam hal berkas perkara dipandang lengkap jaksa penuntut umum melimpahkan perkara kepada pengadilan dilakukan paling lambat 5 (lima) hari sejak berkas perkara dari penyidik diserahkan kepada jaksa.
Pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap perkara tindak pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, harus dilakukan dalam waktu yang singkat sebanding dengan jangka waktu penyelenggara Pemilu yang singkat. Disarankan agar paling lambat 7 (tujuh) hari sejak perkara didaftar pada kepaniteraan pengadilan negeri perkara sudah diselesaikan. Langkah tambahan untuk mempersingkat penyelesaian perkara pada tingkat banding disarankan agar pengadilan tinggi menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara pada tingkat banding sebagai pengadilan tingkat terakhir dan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain dan paling lambat 7 (tujuh) hari perkara didaftar pada kepaniteraan pengadilan tinggi.
Untuk merespons kemungkinan terdapat perkara perselisihan dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dimintakan untuk diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, perlu ditegaskan agar Pengadilan Tata Usaha Negara menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak perkara didaftar pada kepaniteraan pengadilan Tata Usaha Negara. Perlu ada ketegasan dalam undang-undang ini untuk menghindaari berlarut-larutnya penyelesian perkara, perlu dibuat ketentuan yang memerintgahkan agar pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, perkara pada tingkat banding sebagai pengadilan tingkat terakhir dan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain.
Demikian pula halnya agar diatur secara tegas sehingga pengadilan tinggi tata usaha negara dalam menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara pada tingkat banding sebagai pengadilan tingkat terakhir paling lambat 7 (tujuh) hari sejak perkara didaftar pada kepaniteraan pengadilan tinggi. Saran-saran tersebut di atas direkomendasikan naskah akademik ini untuk dijadikan ketentuan dalam undang-undang penyempurnaan.

19. Ketentuan Pidana

Pengaturan mengenai Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu diadakan penyempurnaan dengan pemberatan hukuman. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kinerja petugas dan kepatuhan semua pihak dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu perlu penambahan lama hukuman dan jumlah denda.

20. Ketentuan Peralihan
Dalam Rancangan Undang-Undang ini ditegaskan kembali bahwa dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009, anggota TNI dan anggota POLRI tidak menggunakan hak memilihnya.

B. Susunan Rancangan Undang-Undang
RUU tentang Pemilihan Umum Presdien dan Wakil Presiden disusun dengan struktur Bab dan Pasal, yang terdiri atas 21 Bab dan 245 Pasal. Dibandingkan dengan UU Nomor 23 Tahun 2003 yang terdiri atas 15 Bab dan 103 Pasal, maka dalam RUU terdapat penambahan 6 Bab dan 142 Pasal.
Secara lengkap, ke 21 Bab dan 245 Pasal dalam RUU adalah:
BAB I KETENTUAN UMUM;
terdiri atas 1 pasal, yaitu Pasal 1.
BAB II ASAS, PELAKSANAAN, DAN LEMBAGA PENYELENGGARA PELPRES;
terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 2 sampai dengan Pasal 4.
BAB III PESERTA DAN PERSYARATAN MENGIKUTI PELPRES;
terdiri atas 5 pasal, yaitu Pasal 5 sampai dengan Pasal 9.
BAB IV HAK MEMILIH;
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 10 sampai dengan Pasal 11.
BAB V PENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH;
terdiri atas 22 pasal, yaitu Pasal 12 sampai dengan Pasal 33.
BAB VI PENCALONAN;
terdiri atas 13 pasal, yaitu Pasal 34 sampai dengan Pasal 46.
BAB VII KAMPANYE;
terdiri atas 24 pasal, yaitu Pasal 47 sampai dengan Pasal 70.
BAB VIII PERLENGKAPAN PENYELENGGARAAN PILPRES;
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 71 sampai dengan Pasal 72.
BAB IX PEMUNGUTAN SUARA;
terdiri atas 20 pasal, yaitu Pasal 73 sampai dengan Pasal 92.
BAB X PENGHITUNGAN SUARA;
terdiri atas 13 pasal, yaitu Pasal 93 sampai dengan Pasal 115.
BAB XI PENETAPAN HASIL PILPRES;
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 116 sampai dengan Pasal 117.
BAB XII PENETAPAN PASANGAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERPILIH;
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 118 sampai dengan Pasal 119.
BAB XIII PELANTIKAN;
terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 120 sampai dengan Pasal 122.
BAB XIV PEMUNGUTAN SUARA ULANG DAN PENGHITUNGAN SUARA ULANG;
terdiri atas 4 pasal, yaitu Pasal 123 sampai dengan Pasal 126.
BAB XV PILPRES LANJUTAN DAN PILPRES SUSULAN;
terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 127 sampai dengan Pasal 129.
BAB XVI PENGAWASAN;
terdiri atas 38 pasal, yaitu Pasal 130 sampai dengan Pasal 167.
BAB XVII PEMANTAUAN PILPRES;
terdiri atas 19 pasal, yaitu Pasal 168 sampai dengan Pasal 186.
BAB XVIII PENYELESAIAN PERSELISIHAN DALAM PILPRES;
terdiri atas 11 pasal, yaitu Pasal 187 sampai dengan Pasal 197.
BAB XIX KETENTUAN PIDANA;
terdiri atas 45 pasal, yaitu Pasal 198 sampai dengan Pasal 242.
BAB XX KETENTUAN PERALIHAN;
terdiri atas 1 pasal, yaitu Pasal 243.
BAB XXI KETENTUAN PENUTUP;
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 244 sampai dengan Pasal 245.



BAB VII
PENUTUP

Naskah akademik ini telah diupayakan seoptimal mungkin namun dihubungkan dengan realitas dan tuntutan masyarakat tentu masih jauh dari sempurna. Naskah akademik ini, dijadikan dasar dan acuan dalam rangka penyempurnaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Hal ini tercermin dari materi yang dimuat dalam naskah akademik ini yang secara substansial dapat dituangkan dalam rumusan bab, pasal dan ayat. Dengan demikian, melalui perumusan yang cermat dan mengakomodasi seluruh kondisi empirik dari pengalaman pelaksanaan sebelumnya diharapkan hal ini menjadi titik tolak menuju iklim demokrasi Indonesia yang lebih baik dengan tetap berlandaskan pada akar budaya bangsa.
Lampiran
Hari Ini Voting RUU Pemilu
16 Parpol di DPR Bisa Langsung Ikut Pemilu 2009
Kamis, 28 Februari 2008 | 02:37 WIB
Jakarta, Kompas - Voting tak terhindarkan dalam rapat paripurna DPR hari Kamis (28/2) ini untuk mengesahkan Rancangan Undang Undang Pemilihan Umum untuk Anggota DPR, DPD dan DPRD. Perbedaan tajam di antara fraksi-fraksi DPR tetap belum dapat terjembatani sampai Rabu pukul 24.00.
Dari enam materi krusial yang dibahas, empat di antaranya berhasil disepakati. Dua materi alot yang tersisa adalah soal penghitungan sisa suara dan penentuan calon terpilih.
Kubu yang ingin sisa suara ditarik ke provinsi saling bersikeras dengan kubu yang ingin perhitungan selesai di tingkat daerah pemilihan (dapil).
Sementara dalam soal penetapan calon terpilih, ketika ada lebih dari seorang calon yang mencapai 30 persen bilangan pembagi pemilih (PBB); ada kelompok fraksi yang ingin nomor urut diberlakukan, namun ada juga yang ingin suara terbanyak yang menentukan.
Dalam lobi semalam, kemajuan signifikan terjadi sekitar pukul 22.10, ketika para pimpinan fraksi mencapai kesepakatan atas empat materi krusial.
Materi yang alot namun akhirnya terselesaikan adalah soal ketentuan ambang batas (threshold). Fraksi-fraksi sepakat parliamentary threshold (PT) besarnya 2,5 persen dan electoral threshold (ET) 3 persen.
Namun, ketentuan itu disertai aturan peralihan, yaitu parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak lolos ET berdasarkan UU 12/2003 namun punya kursi di DPR, tetap bisa menjadi peserta Pemilu 2009.
Dengan adanya aturan peralihan tersebut, 16 parpol yang saat ini mengisi DPR bisa langsung ditetapkan sebagai parpol peserta Pemilu 2009.
Padahal, jika ketentuan ET pada UU 12/2003 tidak "dihanguskan", hanya 7 parpol saja yang langsung bisa ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2009. Ke-7 parpol itu adalah Partai Golkar, PDIP, PPP, Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PKS. Ke-9 parpol lainnya adalah PBR, PDS, PBB, PPDK, Partai Pelopor, PKPB, PNI Marhaenisme, PKPI, dan PPDI.
Ketentuan peralihan tersebut langsung disambut gembira sejumlah parpol kecil yang terancam tak lagi ikut Pemilu 2009. Anggota Panitia Khusus RUU seperti Jamaluddin Karim, Ali Mochtar Ngabalin (PBB), Ryaas Rasyid (PPDK), Bachrum Siregar (PBR), dan Pastor Saut Hasibuan (PDS) terlihat sumringah saat keluar dari ruangan tempat lobi dilaksanakan. "Alhamdulillah, setidaknya masih ada harapan di 2009," kata Jamaluddin.
Kesepakatan lain yang dicapai dalam lobi antarfraksi adalah jumlah kursi DPR sebanyak 560 kursi. Besaran daerah pemilihan 3-10 kursi. Cara pemberian suara adalah dengan memberikan tanda di surat suara.
Pihak pemerintah dalam sesi pertama lobi dengan pimpinan fraksi DPR mengharapkan agar ada titik temu terlebih dulu di lingkup internal DPR. Pemerintah tidak anti dengan mekanisme pemungutan suara, namun tetap diharapkan terlebih dulu ada kompromi antarfraksi.
Menteri Dalam Negeri Mardiyanto menyebutkan, prinsipnya tidak seluruh enam materi krusial harus divoting. Semaksimal mungkin pengambilan keputusan lewat voting dihindari.
Selain Mendagri dan Menhuk dan HAM, dari pihak pemerintah juga hadir Mensesneg Hatta rajasa.
Tawar menawar
Tanda-tanda kemajuan mulai terlihat ketika Fraksi Partai Golkar menarik usulannya tentang syarat calon anggota lembaga legislatif. Awalnya Fraksi Golkar menginginkan bekas terpidana bisa dicalonkan.
Selain itu, soal pemberian suara juga disepakati dengan cara memberi tanda pada surat suara, namun dengan tetap mempertimbangkan aspek kemudahan dan efisiensi.
Mengenai kemungkinan pemerintah tidak sependapat dengan hasil lobi antarfraksi DPR, anggota Pansus Ali Masykur Musa (FKB) menyebut kemungkinan itu hanya akan menciptakan situasi yang tidak kondusif terhadap sistem ketatanegaraan. Jangan sampai pemerintah memperuncing hubungan DPR dengan pemerintah,” katanya.
Draf Peraturan
Komisi Pemilihan Umum sudah menyiapkan perangkat aturan untuk pelaksanaan Pemilu 2009. Namun, aturan itu belum bisa disahkan menjadi Peraturan KPU, sebelum RUU Pemilu disahkan. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary, Rabu , mengatakan, saat ini KPU sudah mengantisipasi dengan menyiapkan draf peraturan KPU menggunakan UU 12/2003, tetapi KPU tetap akan membutuhkan waktu untuk mengubah draf itu bila RUU Pemilu disahkan.
Dia mencontohkan, untuk tanggal 9 Februari dijadwalkan pendaftaran dan verifikasi calon anggota DPD. Namun, tanggal ini pun sudah lewat. Jadwal lainnya pada 9 Maret dijadwalkan pendaftaran partai politik sebagai peserta pemilu dan dilanjutkan verifikasi. ”Kalau pun RUU Pemilu disahkan besok (Kamis, 28/2), tidak mungkin juga dalam waktu sepuluh hari bisa membuka pendaftaran,” kata Hafiz yang kemarin menandatangani nota kesepahaman dengan Country Director UNDP Hakan Bjorkman tentang program dukungan teknis pelaksanaan Pemilu 2009.
Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata secara terpisah mengemukakan, KPU periode 2007-2012 lebih siap dari KPU sebelumnya. Pengalaman menunjukkan, waktu tiga bulan cukup untuk penyelenggaraan pemilu demokratis pertama dan rumit pada tahun 1999.
Mantan Anggota KPU Mulyana W Kusumah saat dihubungi di Solo, menyebutkan, beban KPU untuk menyelenggarakan pemilu 2009 lebih berat dibandingkan pemilu 2004. Jika KPU lalu hanya bertugas menyelenggarakan pemilu nasional, namun sekarang KPU juga harus mengawasi penyelenggarakan pilkada yang beberapa di antaranya bermasalah. ”Konsultasi yang dilakukan KPUD menjadi beban tersendiri bagi KPU,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, lanjut Mulyana, maka KPU harus segara melakukan konsolidasi internal organisasi. Peran Biro di Sekretariat Jenderal KPU harus dioptimalkan. terlebih lagi, dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu jumlah biro dikurangi dari 10 biro (bukan 11 biro) menjadi tujuh biro.(DIK/SIE/INU/MZW)
Tarik Ulur Pengajuan RUU Bidang Politik
Janji pemerintah akan menyerahkan paket Rancangan Undang-undang (RUU) Bidang Politik ke DPR belum juga diwujudkan hingga sekarang. Padahal, pemerintah sudah tiga kali berkomitmen akan mengajukan ke DPR. Dan, sudah tiga kali pula membahasnya di dalam rapat kabinet. Namum, hasilnya masih belum jelas. Kalangan DPR pun dibuat resah. Pasalnya, makin lama RUU diajukan, makin mepet pula waktu pembahasannya. Spekulasi pun muncul, ini sikap kehati-hatian pemerintah atau sarat kepentingan politik?
============================================================
Harap-harap cemas mulai dirasakan masyarakat, terutama politisi di DPR. Jika berhitung waktu maka sisa waktu yang ada hingga Pemilu 2009 masih sekitar dua tahun lagi. Otomatis, pemerintah dan DPR harus menyelesaikan empat RUU di bidang politik sekitar satu tahun lagi. Karena sisa waktu yang ada harus dialokasikan untuk KPU dalam menyusun agenda pemilu 2009.
Bisa dibayangkan kejadian tertundanya agenda Pemilu yang dibebankan oleh KPU seperti sebelumnya bisa terulang lagi. Pasalnya, KPU tidak akan dapat bekerja jika UU Bidang Politik belum ada. Perangkat hukum berupa UU menjadi ruh dari sejumlah agenda pemilu mulai dari pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu; pendaftaran pemilih; penyusunan pedoman pelaksanaan pemilu; penetapan jumlah penduduk di masing-masing daerah pemilihan; penentuan jumlah kursi di tiap daerah pemilihan; pendidikan pemilih; penetapan peserta pemilu dan sejumlah agenda pemilu lainnya bisa terbangkali.
Janji pemerintah seperti sebelumnya selalu meleset. Mulanya, pemerintah berkomitmen akan mengajukan RUU Bidang Politik awal April 2007, namun tertunda dan menjanjikan lagi diajukan pada awal Mei, kemudian dijanjikan lagi pertengahan Mei. Hingga terakhir menjanjikan lagi akan diajukan ke DPR pada akhir Mei ini.
Anggota Komisi II DPR Ferry Mursyidan Baldan berharap janji pemerintah kali ini benar-benar ditepati. Agar pembahasan empat paket RUU Bidang Politik yang terdiri dari empat RUU yaitu RUU Partai Politik, RUU Pemilihan Umum, RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan RUU Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPD, DPR, dan DPRD, sesuai target DPR selesai akhir tahun 2007 ini, sehingga pihak lain seperti KPU, partai politik dan lembaga lainnya dapat menyusun agenda dengan baik.
Jika pemerintah mengajukannya Mei, masih ada waktu cukup bagi DPR untuk membahas pada persidangan ini dengan perhitungan Juni baru dibahas, sedangkan Juli DPR sudah reses lagi. Sebab, proses pembahasan sebuah RUU di DPR memerlukan waktu cukup panjang mulai dari penjadwalan pembahasan oleh Rapat Badan Musyawarah (Bamus), pembentukan Pansus, pengukuhan Pimpinan Pansus, penjelasan pemerintah, tahap meminta masukan masyarakat, penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari fraksi-fraksi. Kemudian pembahasan dari tingkat Pansus, Panitia Kerja, Tim Perumus, hingga Tim Sinkronisasi.
Masalah lain yang perlu juga dipikirkan jika RUU ini terlambat penyelesaiannya adalah kemungkinan adanya krisis ketatanegaraan. Pasalnya, masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla akan berakhir genap lima tahun pada 20 Oktober 2009. Jika sampai waktu itu, KPU belum menetapkan presiden/wapres terpilih karena persoalan teknis maka akan menimbulkan instabilitas nasional. Akan terjadi kekosongan kekuasaan karena presiden dan wapres baru belum terpilih.
Skenario Pemerintah
Berlarutnya pemerintah mengajukan RUU bidang politik menimbulkan kecurigaan DPR. Politisi di DPR menganggap pemerintah sengaja memperlambat mengajukan untuk kepentingan jangka panjangnya. Harus diakui, ada sejumlah isu-isu sensitif mewarnai subtansi dari materi RUU bidang politik. Misalnya syarat S1 yang disyaratkan dalam RUU Pilpres.
Reaksi dari PDI Perjuangan sangat keras. Mereka menolak adanya syarat tersebut karena akan mengganjal capres yang mereka usung Megawati Soekarnoputri. Masalah ini pun masuk dalam pembahasan di kabinet. Konon, pemerintah akhirnya merevisi ketentuan tersebut dengan menghilangkannya dari draf RUU.
Menko Polhukkam merangkap Mendagri ad Interim Widodo AS mengatakan, secara umum materi-materi untuk draft RUU sudah tuntas. Namun, pemerintah masih memerlukan waktu untuk harmonisasi draf yang ada. Proses harmonisasi dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM untuk selanjutnya diserahkan kepada Sekretariat Negara. Jika sudah lengkap, maka menunggu teken Presiden berupa amanat presiden (Ampres).
Masukan-masukan yang ada, menurutnya akan dipakai untuk penyempurnaan dan harmonisasi, termasuk keberatan dari sejumlah pihak atas materi yang ada dalam RUU. Ia berharap semua dapat memahami langkah yang diambil pemerintah dalam persoalan ini.
Anggota Komisi II DPR lainnya Syaifullah Mashum tetap berprasangka baik. Ia mengaku belum melihat adanya indikasi keterlambatan ini sebagai skenario buying time (teknik mengulur waktu) pemerintah agar materi krusial tidak mendapat porsi waktu perdebatan yang memadai. Saya belum melihat indikasi itu, kecuali kalau sampai mulur lagi, ujar mantan Ketua Pansus RUU Penyelenggara Pemilu ini.
Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) DPR Suharso Monoarfa berpendapat ada sesuatu di tingkat kabinet yang menyebabkan paket RUU bidang politik belum juga diserahkan ke DPR. Hingga saat ini, ia sendiri belum mengetahui persis latar belakang terlambatnya pengajuan ini.
Namun, ia menduga ada kaitannya dengan kesehatan Mendagri M Maruf yang dikenal sebagai orang kepercayaan Presiden Yudhoyono. Sebab, kalau hanya menunggu Ampres, tidak harus tergantung pada kesehatan Mendagri karena sudah ada Menko Polhukam Widodo AS sebagai Mendagri Ad interim Widodo AS.
* hardianto

Butir-butir Perubahan dalam
Materi Draf RUU Bidang Politik
RUU Partai Politik
1. Syarat Pendirian Partai
Adanya penambahan syarat minimal dukungan dari 50 menjadi 100 orang. Alasannya memperluas partisipasi masyarakat dalam pendirian parpol.
2. Keterwakilan Perempuan
Kewajiban memasukkan perempuan dalam kepengurusan partai minimal 30 persen dari jumlah yang ada. Alasannya kesetaraan gender, peningkatan motivasi perempuan dalam berpolitik dan meningkatkan keterwakilan perempuan.
3. Deposit Dana
Kewajiban menyimpan dana pada bank pemerintah. Ketentuan ini belum pernah diatur. Alasan untuk menjamin kredibilitas dan kesiapan partai. Selain itu partai diarahkan untuk mandiri dalam menjalankan visi dan misi serta tujuannya.
4. Tentang Badan Usaha
Penghapusan larangan pendirian badan usaha milik partai (BUMP). Alasannya kemandirian keuangan partai, untuk mengurangi ketergantungan kepada pemerintah.
RUU Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
1. Peradilan Umum
Dalam PN dibentuk majalis hukum ad hoc
2.Electoral Threshold
Penambahan syarat minimal dari 3 persen menjadi 5 persen
3. Hak Memilih
Usia 18 tahun dari sebelumnya 17 tahun
4. Jumlah Kursi dan Dapil
5. Dimungkinkan penambahan jumlah anggota DPR dari 550 mejadi 600 dan penambahan daerah pemilihan dari 69 menjadi 82.
6. Untuk DPRD Propinsi penentuan jumlah kursi tidak lagi berdasarkan dapil, tetapi DPRD sebagai perwakilan penduduk sekaligus perwakilan wilayah.
RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
1. Syarat-syarat calon
Syarat pendidikan minimal S1 (dikabarkan telah dihaus dalam draf akhir yang telah disempurnakan).
2. Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu
Pengadaan oleh Sekjen, tidak lagi oleh anggota KPU.
3. Dana Kampanye
Dugaan korupsi diatur oleh KPK.
RUU Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD
1. Pimpinan MPR
Bersifat ad hoc, tidak lagi bersifat permanen seperti sekarang. Kemudian dijabat bergantian secara bergantian oleh pimpinan DPR dan pimpinan DPD. Alasannya untuk penguatan sistem bikemeral efisiensi sistem politik nasional.
2. Pimpinan DPR
Penambahan Wakil Ketua dari tiga menjadi empat. Penentuan pimpinan parpol didasarkan atas perolehan kursi terbanyak di DPR. Dan diatur penarikan pimpinan DPR oleh parpol.
3. Ketua dan Wakil Ketua DPR diresmikan oleh Keputusan Presiden.
4. Hak DPD
Penambahan hak DPD untuk membahas RUU bidang tertentu bersama DPR dan pemerintah.
5. Pimpinan DPD
Ketua dan Wakil Ketua diresmikan dengan Keputusn Presiden.
6. Pimpinan DPRD Propinsi
Penentuan pimpinan DPRD didasarkan atas urutan perolehan kursi terbanyak.
7. Diatur penarikan pimpinan DPRD oleh parpol
8. Ketua dan Wakil diresmikan oleh Keputusan Mendagri atas nama Presiden

RUU Pemilu Disetujui
RUU Politik Segera Dibahas

Jakarta-Rapat paripurna DPR, Selasa (20/3) siang menyetujui Rancangan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu (RUU PP) untuk disahkan menjadi UU. Dengan disetujuinya RUU PP ini, pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru bisa segera dilakukan untuk mempersiapkan Pemilu 2009.
Naskah RUU PP yang terdiri 10 Bab, 133 pasal ini dibahas sejak akhir September 2006 bersama Mendagri Mohammad Ma’ruf yang mewakili pemerintah dan melibatkan berbagai pakar untuk memberi masukan.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU PP Syaifullah Mashum dari Fraksi Kebangkitan Bangsa kepada SH mengatakan, setelah RUU PP ini disetujui untuk diundangkan, sudah saatnya Pemerintah segera menyerahkan draf paket RUU bidang Politik yang terdiri atas RUU Partai Politik, RUU Pemilu Legislatif, RUU Pemilu Presiden, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan DPR/ DPD/MPR/DPRD.
“RUU PP ini saling terkait dengan RUU lainnya, terutama RUU Pemilu Legislatif dan RUU Pemilu Presiden. Kalau paket RUU Politik bisa segera dibahas, persiapan Pemilu 2009 akan lebih baik,” ujar Mashum.
Saat ini, Pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri masih menggodok paket RUU bidang politik ini dan intens mengadakan diskusi dengan berbagai kalangan untuk pembahasan draft akhir sebelum diserahkan ke DPR.
Syaifullah Mashum menyarankan Presiden segera menandatangani RUU yang telah disetujui DPR ini untuk diundangkan, sehingga Panitia Seleksi untuk memilih calon anggota KPU baru bisa segera dibentuk. Panitia seleksi paling tidak membutuhkan waktu tiga bulan sampai terbentuknya KPU baru.

Mandiri
Lebih lanjut dikemukakan Syaifullah Mashum, KPU baru nantinya tetap mandiri, independen, non-partisan, dan Sekjen KPU pun mandiri, tidak lagi bertanggung jawab kepada pemerintah, melainkan bertangung jawab langsung kepada KPU.
“Kemandirian KPU juga tercermin dari KPU-KPU di tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota. Kalau dulu KPU provinsi dan Kabupaten/Kota dibentuk atas usul gubernur dan DPRD, kali ini KPU Pusat yang membentuk KPU tingkat daerah,” ujar Mashum sambil menambahkan keuangan untuk KPU ini makin jelas, yakni APBN untuk tingkat pusat dan APBD untuk KPU daerah.
Mashum yang mantan wartawan ini menjelaskan anggota KPU mendatang juga tidak boleh mengajukan pengunduran diri atau nonaktif untuk kemudian meraih jabatan tertentu di lembaga pemerintah, BUMN, maupun BUMD. “Pasal ini untuk menegaskan bahwa tugas anggota KPU bukan sebagai tangga untuk mengejar jabatan lain di birokrasi dan diharapkan menghindari kolusi antara anggota KPU dengan pejabat tertentu,” ujar Mashum.
Dalam RUU ini juga ada keharusan bagi anggota KPU di tingkat Kabupaten/Kota hingga desa untuk melakukan pemutakhiran data pemilih mengingat soal data pemilih ini bisa menjadi pemicu konflik. “Nah, masalah ini kan juga harus detail masuk dalam UU Pemilu,” katanya. (suradi)


DPR Pastikan RUU Pemilu Disahkan 26 Februari


Sabtu, 23 Februari 2008
Jakarta - DPR RI memastikan bahwa revisi terhadap UU No.12/2003 tentang Pemilu akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 26 Pebruari 2008 dan tidak akan ditunda lagi.

"Sampai hari ini pembahasan sudah mencapai 95 persen dan semua fraksi optimis mampu menyelesaikan beberapa hal yang masih harus dibahas dalam forum lobi," kata Ketua Pansus RUU Pemilu DPR RI Ferry Mursyidan Baldan di Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat.

RUU revisi tersebut terdiri atas 320 pasal dan 23 bab. Menurut anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR RI itu, saat ini masih tersisa tiga hal yang masih dilakukan lobi antar fraksi, yaitu sisa suara, "threshold" (perolehan suara minimum) dan daerah pemilihan.

Pansus memiliki waktu hingga Senin (25/2) malam untuk menyelesaikan seluruh pasal. Dengan tuntasnya seluruh pembahasan RUU ini, maka diharapkan KPU akan bisa lebih baik mempersiapkan Pemilu 2009.

RUU ini juga mengatur sengketa hasil Pemilu yang harus dituntaskan melalui proses hukum dalam kurun waktu lima hari sebelum ditetapkan hasil Pemilu. Karena itu, harus dihindari terjadinya sengketa setelah hasil Pemilu ditetapkan.

RUU juga menetapkan bahwa setiap tiga calon legislatif (caleg) baik di DPR, DPRD maupun di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus terdapat satu caleg perempuan. Hal ini untuk mewujudkan keterwakilan jender.

Mengenai adanya sanksi bagi media massa terkait pemberitaan kampanye, Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Andi Yuliani Paris menjelaskan bahwa DPR bersama pemerintah sepakat menghapus adanya sanksi bagi media massa terkait berita-berita kampanye.

Terkait penyiaran hasil penghitungan cepat ("quick count"), Pansus RUU Pemilu menyatakan tidak melarang adanya pengumuman hasil perhitungan cepat. Hanya saja diatur bahwa penyiaran penghitungan cepat tidak dilakukan pada masa tenang.

Pengumuman hasil penghitungan suara bisa dilakukan pada hari berikutnya agar tidak mengganggu proses penghitungan yang dilakukan di TPS-TPS maupun di kecamatan yang biasanya terjadi hingga tengah malam. "Pengumuman hasil penghitungan suara baru bisa dilakukan setelah pukul 00.00 WIB," kata Anggota Fraksi PAN DPR RI itu.

Pengumuman hasil penghitungan suara di masa tenang akan mengganggu konsentrasi masyarakat menetapkan pilihannya pada saat pencoblosan. Masyarakat bisa menganggap seolah-olah hasil penghitungan cepat itu sebagai hasil sebenarnya. Begitu juga jika pengumuman dilakukan saat seluruh TPS dan kecamatan menyelesaikan proses penghitungan suara akan mengganggu konsentrasi.

Anggota Pansus RUU Pemilu Yasona Laoly mengemukakan, pengumuman hasil penghitungan suara setelah 24 jam dari hasil pencoblosan bukan sebagai bentuk apriori terhadap teknologi. Tetapi didasarkan pada sikap masyarakat yang belum siap. Berdasarkan pengalaman pada Pemilu lalu, hasil "quick count" diumumkan di saat sebagian TPS masih melakukan penghitungan.

"Ketika mendengar adanya pengumuman hasil `quick count`, konsentrasi masyarakat buyar," kata Anggota Fraksi PDIP DPR RI itu.

Sedangkan Taman Achda (Fraksi PPP) mengemukakan, jumlah pemilih akan bertambah dari sekitar 300 orang/TPS pada Pemilu 2004 menjadi hanya sekitar 500 pemilih pada Pemilu 2009. Dengan demikian, terjadi penghematan biaya untuk membuat TPS.

Penghematan juga terjadi pada jumlah kertas suara pada setiap TPS. Bila pada Pemilu 2004, jumlah cadangan kertas suara ditetapkan 2,5%, maka untuk Pemilu mendatang cadangan kertas suara hanya 2% dari total pemilih pada TPS yang bersangkutan.

RUU juga mengatur calon legislatif untuk DPD. Menurut Ferry, anggota DPD yang akan mencalonkan lagi harus mengikuti proses verifikasi berdasarkan hasil perolehan suara pada Pemilu 2004. Anggota DPD yang memperoleh suara antara 3-5 persen dari jumlah penduduk di daerah pemilihannya dipastikan dapat ikut kembali pada Pemilu 2009.

Namun Wakil Ketua DPD Laode Ida menganggap persyaratan itu tidak tepat diberlakukan bagi anggota DPD saat ini yang akan mencalonkan lagi. Persyaratan perolehan suara minimal 3 persen itu menyamakan persyaratan dengan partai politik.

Laode berpendapat, anggota DPD yang memperoleh suara minimal 3 persen tidak perlu lagi mengikuti proses verifikasi seperti halnya diterapkan bagi partai politik.



UU yang dipakai untuk pemilu 2009 adalah UU PEMILU No 10 tahun 2008